Selasa, 31 Agustus 2010

Perfect


Semua orang mendamba kesempurnaan. Kesempurnaan yang bermakna kebenaran, kesempurnaan sebagai cita-cita makhluk beriman, kesempurnaan untuk garansi keabadian, atau kesempurnaan atas kesan sesama makhluk; biar tampak sempurna. Ya, binatang pun akan merasa nyaman bersama tuannya yang penyayang. Ia menangkap kesan kuat bahwa tuannya sedang menawarkan kesempurnaan yang tidak dia miliki.

Realitas tentang kesempurnaan dapat dibangun dengan kesan dan pencitraan. Tapi, bukan berarti kita harus berdiri di atas menara gading dengan menawarkan sejuta garansi kesempurnaan kepada semua orang. Kita tak perlu bersusah-susah menjadi sosok yang untouchable. Bukan juga membaiat diri menjadi figur yang sangat didamba khalayak. Bahaya… ketergantungan hanya akan menyisihkan kesadaran massa. Publik akan berharap pada kita, sedang sebenarnya, kita tidak sempurna. Ya, kita hanya piranti.

Superioritas hanya akan menepis persepsi bahwa Allah Mahaadil. Sebab, realitas tentang kesempurnaan ini hanya akan memancing persepsi, bukan hakikat. Sebab, realitas tentang kesempurnaan harus dapat ditemukan oleh setiap orang bersama petunjuk Allah Swt. Andai manusia tak diberi peluang untuk meraih kesempurnaan atas dirinya sendiri, banyak orang akan merasakan ketidakadilan takdir. Apalagi, untuk itu, ia telah berharap pada sesama makhluk. Karena, kita hanya bekerja sama. Dan tentu saja, ini tidak masuk akal.

Kita hanya perlu dedikasi. Bahwa pengabdian pada semua hal yang benar adalah pilihan. Tentunya, dengan ukuran kemampuan yang kita punya. Jika memang ada di jalan benar, tidak ada yang perlu kita bedakan atas nama apa pun. Ya, privasi atau tuntutan untuk menjadi spesial memang hanya untuk Allah. Bahkan, bagi orang terdekat kita pun, realitas tentang kesempurnaan perlu untuk dibangun. Kita tak boleh tampak lemah, sebab manusia adalah makhluk yang lemah merupakan keniscayaan. Jadi, keniscayaan bahwa kita yang lemah tak perlu dijadikan alasan kunci untuk membunuh pengakuan publik akan ketidakmampuan kita. Kita tak pantas mengeluh, karena oleh Al-Quran, manusia dinyatakan sebagai makhluk yang suka mengeluh. Kita harus sedikit sungkan untuk blak-blakan pada orang lain menyoal kekurangan kita; bukan untuk sesama makhluk—terutama manusia—akan tetapi untuk Allah. Sebab, Allah menganugerahi kita, realitas tentang kesempurnaan.

Ini reputasi keimanan. Pertama, karena kita yakin bahwa Allahlah tempat kembali, semua kerapuhan kita hanya pantas disandarkan pada-Nya, bukan pada sesama manusia, atau makhluk lain yang lebih rendah derajatnya. Kedua, karena kita yakin bahwa Allah bersama kita, kita tak terlalu membutuhkan pengakuan. Kita hanya perlu berbuat yang terbaik untuk-Nya. Jangan keseringan mewajarkan diri, bahwa manusia memang butuh diakui. Ketiga, karena semua akan sirna, nothing to lose aja. Tak ada yang lebih penting dari pencapaian akal kita akan hikmah di balik semua hal. Ya, kita tak akan menyesal atas apa pun. Karena, semua pasti bermanfaat; tak ada yang sia-sia di muka bumi ini.

Meski kadang pula, kita harus akui, semua orang butuh kenangan terbaik untuk membawa eksistensi dirinya pada kehidupan yang dramatis. Sebab, manusia akan memiliki spirit kehidupan yang tinggi bila semua hal tampak menakjubkan; tidak biasa-biasa saja. Dan semua orang akan mati-matian untuk menciptakan momen fenomenal itu. Hingga akhirnya, semua memang layak untuk dikenang.

Dan… kalau pun kita tak ‘seingin’ publik, kita akan tetap punya kemisteriusan yang serius. Ia adalah Allah. Maksudnya, andai kita tak sehebat yang diharapkan khalayak dan kita bukan ‘pemenang’ versi publik, kita tetap memiliki reputasi keimanan yang membuat kita tenang. Karena, sekali lagi, kita punya realitas tentang kesempurnaan.

Bahkan pun, andai saat ini… kita harus mati.

Tidaklah kalian menunggu kecuali kekayaan yang menjadikan durhaka (melampaui batas), kemiskinan yang membuatmu lupa, sakit yang merusak, atau tua yang melemahkan, atau mati yang mendadak, atau Dajjal barang gaib yang ditunggu, atau hari Kiamat. Sesungguhnya Kiamat itu mengintai dan sangat dekat. (HR. Turmudzi dari haditsnya Abu Hurairah)

Solo, 23 Juni 2006

Tidak ada komentar: