Selasa, 31 Agustus 2010

Nilai


“Aku butuh refreshing,” seloroh jutek kembali memenuhi telingaku.

“Lho… berarti kerja dan senang itu dipisahin? Emang ngga bisa, kalau dijadiin satu. Kerja itu yang senang, trus pas senang kita juga ngerasa sedang kerja.”


***


Dialog yang tak utuh. Butuh banyak waktu untuk membedah pemisahan antara pekerjaan dan kesenangan; duniawi dan ukhrawi; hakikat dan verbal. Aku tahu, ini pekerjaan sulit. Apalagi kalau bukan menjelaskan apa-apa dengan kaffah (menurutku). Sedangkan, aku juga tahu persis, bahwa aku juga butuh lisensi kaffah. Berarti, sama-sama pengin kaffah. Tapi, di sisi lain, aku juga harus berani berpersepsi. Semoga Allah mengampuniku andai khilaf.


Begini….


Berawal dari interest, manusia akan berupaya untuk mencari kepuasan hidup. Selain dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk survive, manusia cenderung ingin diakui keeksisannya. Selanjutnya, dua motif ini membentuk pola pikir dan tujuan manusia. Pada kenyataannya, semua cara pun ditempuh.


Selanjutnya, dari ketundukan manusia pada tradisi, keyakinan temporal, hingga ke kepercayaan hakiki, akhirnya, manusia memiliki tipikal bermacam-macam. Mereka mengekspresikan semua itu dalam perilaku yang menurut mereka, harus dipertahankan sebagai sebuah kebenaran.

Kaum materialis yakin, semua hal harus ada manfaatnya, tidak peduli dari mana datangnya. Artinya, apa pun karya atau produk yang ada, asalkan bisa mendatangkan manfaat, pasti dianggap sebagai kebenaran. Lebih-lebih, bila dapat dibuktikan kasat mata, bisa dikira-kira, dan yang jelas menguntungkan. Mereka sangat menyukai kuantifikasi, kalkulasi, dan asas manfaat, sedangkan produk mereka adalah teknologi, sains, dan modernisasi. Tentu, ini klaim sepihak.


Di pihak lain, kaum idealis mengagungkan pemahaman mereka tentang keseimbangan dunia, kebahagiaan, ide, keadilan, kenyamanan dalam bingkai kemanusiaan. Mereka selalu berbicara tentang idealitas, yakni bagaimana seharusnya sesuatu terjadi. Ada kalanya, kaum ini sangat mendamba dan meyakini sesuatu yang terang-terang tidak tampak. Mereka menganggapnya sebagai realitas nonmateri yang bisa dikriteriakan dalam persepsi tapi tidak dalam bentuk tiga dimensi yang dibatasi ruang, waktu, atau massa kebendaan. Kaum ini juga sangat bernafsu meyakinkan dunia tentang optimalnya cita-cita atas hal-hal material. Maksudnya, materi hanya sarana mencapai cita-cita, bukan cita-cita itu sendiri.


Beriring kaum materialis dan idealis, terdapat koloni transenden. Barisan ini mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk ‘kegunaan’ dan ‘cita-cita’ abadi; Tuhan. Semua perilaku yang ada didasarkan pada literatur-literatur suci dan penghambaan terhadap kekuatan immaterial atas kepentingan material. Kaidah-kaidah yang ada pun dirunut kebenarannya bila mewakili perintah Tuhan. Apa pun selalu disandarkan pada ketentuan, atas nama Tuhan.


Meski berbeda-beda, semua keyakinan tersebut pasti memiliki struktur. Pertama, bisa dipastikan bahwa ia memiliki tujuan hidup. Kedua, muncul ketentuan-ketentuan yang diyakini. Maksudnya, nilai-nilai yang dianggap sebagai rujukan. Ketiga, ada petunjuk aktivitas atau pola kerja. Ia biasa disebut syariat, hukum, atau ketentuan berbentuk mekanisme dan mekanisme. Keempat, variasi produk dan karya. Artinya, nilai memiliki bukti nyata yang dianggap sebagai representasi kebenarannya. Terakhir, ada logika kompensasi sebagai konsekuensi logis aksi. Di titik ini, semua keyakinan menawarkan banyak keuntungan baik langsung maupun tidak langsung; material maupun immaterial.


Dapat disimpulkan, ada semacam pranata sebagai keniscayaan pola aktivitas. Setiap berhak atas nilai yang ia tafsirkan sendiri, dengan ketentuan yang ia pahami. Kalau pun harus ikut atau turut pada tafsir nilai orang atau kelompok tertentu, harus dengan pemahaman yang cukup pula, bukan taklid, apalagi menganggap semua nilai itu telah selesai.


Dan bagiku… itu penting.


Sabtu, 21 Oktober 2006

Tidak ada komentar: