Selasa, 31 Agustus 2010

Latah Maksum


Sederhana saja, aku tak terlalu nyaman dengan permisivitas, meski aku tahu, bahwa aku perlu moderat untuk menyambanginya. Yah, barangkali semua memang berdasar dan jelas klausulnya. Sebentar, kenapa aku lebih suka reaksioner, ketimbang menengarai preferensi yang mungkin belum terlacak. Nuranikah? Atau, aku sedang merasa tak dijumawakan. Tentunya, atas nama nilai. Atau, kesalehanku memang sekadar ‘perlu’ dipandang formalis. Sebagai simbol, tuntunan, dan sedikit anekdot yang mungkin agak kesufi-sufian agar tak tersentuh.

Nilai tak berujung relatif. Benar, maksudnya, kriteria relatif muncul kan lantaran proporsi sosial yang dipakai. Sebab kalau personal, semua pasti absolut, meski jelas semuanya ada di titik dinamis. Benar juga, sekarang, aku sedang bicarakan kaidah sosial. Bagaimana aku melihat, bagaimana mereka mendengar, dan bagaimana kita perlu melihat dan mendengar, bersama.

Artinya, apa pun harus berstandar resistensi nilai yang cukup. Semisal ada negoisasi, ya tak perlu susah-susah membicarakan, atau berjustifikasi, bahwa ini ‘privat’, sedang yang itu ‘publik’.

Konsekuensi logis donk! Apalagi, publikasi hasrat memang hanya buah cerita yang tak perlu dipikirkan, hanya perlu didaku, bagaimana kalau kita atau aku bernasib demikian. Setidaknya, andai aku bekeinginan demikian.

Ah sudahlah. Semua pasti baik-baik saja. Mekanisme alam ciptaan memang harus berantakan diagnosisnya. Tentunya, agar manusia memang tunduk atas supremasi nilai-nilai Tuhan. Ya, akhirnya, nash memang suci dan relevan bagi yang mau berpikir.

Nisbahku sebagai khalifatul fil Ardh ada lantaran ada support, bahwa dunia memang sedang tak konsisten. Walaupun permisivitas pun berklausul jelas. Artinya, ia pun konsisten pada ketidakkonsistenannya.

Aku bersaksi bahwa Allah Tuhanku, selamanya! Semoga ia tak bosan memaafkanku, selamanya!

Ya... selamanya untuk selamanya....

Solo, 10 Juni 2005

Tidak ada komentar: