Kamis, 18 Desember 2008

2008


HP-ku berderit. Sebuah nomor asing terpampang di layarnya. Ternyata, Deny Mulya Barus, seorang kawan lama yang kini jadi reporter Majalah Gatra. Dulu, dia sempat mengenyam kaderisasi HMI Sukoharjo Komisariat Ahmad Dahlan I. Ia kemudian memutuskan untuk ‘moncer’ di IMM Sukoharjo plus Persma FAI, Islamika.

Setelah saling sungkan, ia bertutur kesan tentang pilihan aktivitasku sekarang. “Wah, sekarang bisa jadi pro ya? Dulu kan anti?” Pertanyaan sederhana yang menukikkan kesalehanku di masa lalu, barangkali.

Aku terbahak seadanya. Bukan soal kalimat barusan. Apalagi, kalimat serupa telah sering aku dengar setahun ini. Aku tertawa untuk netralisasi suasana, bahwa semua tetap seperti dulu. Ya, saat visi kemahasiswaan diretas untuk Indonesia yang lebih baik. Saat visi media bersanding dengan perubahan, berkelindan dengan keperkasaan modal yang sulit dipongahi. Aku dan Deny sempat mempelajarinya bersama.

Aku tertawa untuk kesan yang sebenarnya, meresahkanku. Resah bukan lantaran aku merasa tengah berada di jalan yang salah. Tapi resah karena barangkali, ada fatwa laten, tentang aku yang seharusnya tak seperti sekarang. Ya, aku merasa, banyak kawan yang berbaik hati meluangkan karsa untuk hidupku, yang ‘seharusnya’ tak di tempatku ini.

Selontar kalimat aku feed back-kan agar suasana berimbang. “Gaya bicara kamu udah mirip diplomasi media, Den. Udah ngga gaya politikus lagi seperti dulu.”

Dan tawa membuncah renyah.

Benar, ada apa denganku setahun ini? Aku sering menanyakannya, serius. Mengapa aku tak sanggup lagi menulis buku untuk kemaslahatan (bangsa), semisal? Aku punya Salmanism (2002), Ecoideanomics (2003), HMI Makkiyah (2004), Born to Be Free (2005), Beyond Growl (2006), Bertaruh Citra Dakwah (2007). Aku tak punya apa-apa di 2008.

Apa yang aku dapat dari Jakarta setahun ini? Aku seakan tergopoh untuk reposisi bangsa yang semakin sulit. Jakarta mengajarkanku untuk semakin yakin bahwa semua konstelasi yang terjadi adalah ciptaan. Ya, by design. HMI Sukoharjo mengenyalkan benakku untuk membangun prasangka, lantaran ada khazanah postmodernisme seputar simulasi dan simulacra. Persma Pabelan mendedahkan professional skepticism pada runutan jurnalisme investigasi. Wajar kalau kemudian aku semakin yakin, banyak rencana operasi yang telah berhasil mengacak-acak negeri ini, tapi aku tak tahu banyak. Sisanya, akan semakin bertambah banyak.

Semua operasi itu jelas untuk mengamankan modal besar. Sejauh yang aku tahu, untuk berkompetisi dengan modal, hanya bisa dilakukan dengan modal atau mungkin… jaringan. Dan aku membahasakan jaringan itu sangat sederhana. Ya, apalagi kalau bukan… kebersamaan.

Senin, 13 Oktober 2008

Ikut Komentar Soal Laskar Pelangi


Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi—penisbah fungsi pelangi yang tak selalu melangit tapi juga sangat bermakna bagi perjuangan kaum kurang—pernah berujar, “Pagi itu hujan turun deras. Saat datang ke sekolah, saya lihat Bu Mus datang dengan berpayung daun pisang. Saya kemudian berjanji dalam hati bahwa suatu saat, akan saya tulis buku tentang ibu guruku ini.”

Sederhana tapi menyentuh dasar keterenyuhan insan akan peliknya kekurangan. Tak muluk-muluk tapi melampaui cita-cita ideal tentang hidup yang harus selalu lebih baik. Umum tapi mengingatkan kadar religisiutas yang semakin tipis dalam benak masyarakat gila materi seperti sekarang. Jauh dari ekspresi meledak-ledak tapi menggerus keinferioran mentalitas kalangan yang sepertinya tak pernah berpeluang.

Dan setelah semua semakin baik, dengan sekuat hati Hirata pun menuliskan berjejal kenangan mengagumkan tentang arti pengabdian itu pada enam minggunya yang berkesan. Lahirlah novel yang menginspirasi banyak punggawa kemanusiaan itu dengan selusin kesederhanaan menjanjikan seputar reputasi hidup, yang bersudut pandang berbeda.

Sebenarnya, Hirata tak pernah berkeinginan menawarkan bukunya itu ke penerbit komersil, apalagi hingga difilmkan. Ia hanya berkeinginan untuk mengikat sejarah masa kecilnya itu dengan tulisan, untuk kemudian difotokopi dan dipersembahkan kepada Bu Mus, sosok yang sangat menggugah makna kesungguhan dirinya untuk terus berbuat baik dalam kondisi sesulit apa pun. Ini dari hati ke hati. Ini tentang penghargaan personal yang jelas mengharu biru, tapi tak berbau publisitas. Ini soal ungkapan kebahagiaan yang baru bisa dirangkai dalam hitungan puluhan tahun kemudian.

Tapi tampaknya, kekuatan hikmah itu ternyata memang harus berujung pada sebentuk keniscayaan, bernama pemerataan pada khalayak. Atau sebutlah, dakwah. Atau katakanlah, setiap hal baik akan tercium aroma dan nuansa hingga jauh. Sekuat apa pun seseorang untuk tak ingin tampil di depan khalayak atas derby ikhlas-riya, kebaikan akan menyebar cepat dan berbuah keterkenalan. Sesederhana apa pun niatan seseorang untuk berbuat baik, gelombang penghargaan itu akan datang; bukan lantaran keinginan singgah di hati publik, tapi karena kebaikan itu memang selalu akan diakui adanya.

Pun bila semua tak semegah sekarang. Hirata mengaku, ia bukan seorang sastrawan. Sekali lagi, ia hanya ingin memberikan hadiah pada sang guru tercinta. Segurat dengan bicara Natsir, “Bila pun Masyumi tak ada, saya akan tetap berjuang di jalur Islam.” Artinya, novel itu tetap akan ia persembahkan pada Bu Mus, andai tanpa semua popularitas ini.

Semua tampak semakin meriah ketika analisis yang dikemukakan adalah strukturalis. Denias merilis pentingnya pendidikan, tapi tetap berkolaborasi pada modal raksasa. Faktanya, Denias asli ternyata tengah disekolahkan PT. Freeport. John de Rantau, sang sutradara, mengaku banyak kisah klise di sana; agar film tampak menarik. Gie justru melahirkan dikotomi serius, siapa yang benar-benar berjuang dan siapa yang memanfaatkan perjuangan untuk kepentingan pribadi. Film ini mereputasikan kelompok non-gerakan politik sebagai pahlawan yang sebenarnya. Terlalu tendensius. Semestinya diakui saja bahwa semua kelompok yang ada kala itu turut berkontribusi pada perubahan yang lebih baik. Juga film-film idealis garapan Garin Nugroho yang justru tak bisa dirasakan sebagai karya menjejak di dalam negeri. Ia lebih memilih untuk menjualnya ke luar negeri.

Laskar Pelangi berkisah tentang keresahan luar biasa Hirata atas kondisi republik yang sama sekali tak punya keberpihakan pendidikan kepada rakyat miskin. Tapi ia tak terlalu menyalahkan lingkungan, termasuk negara. Keringatlah kata kuncinya. Ketekunanlah sandi saktinya. Keberanianlah slogan sucinya. Pesan pentingnya, ketergantungan adalah kecualian. Untuk berbuat baik, setiap yang dipunya dapat diberdayakan. Bukan sekolah yang berdinding megah tujuannya. Bukan anak didik yang bermobil. Bukan guru-guru keluaran kampus asing. Bukan fasilitas sekolah yang sangat digital. Ya, ada yang lebih penting. Mental untuk sadar bahwa setiap orang dapat berbuat lebih baik adalah aset yang tak terkira.

Dedikasi tentu berhulu pada rasa kepemilikan yang sangat. Tak ada yang lebih membahagiakan selain merawat semua hal yang dimiliki. Tak ada yang lebih menggairahkan selain mempertahankan kepemilikan itu dengan berbuat yang terbaik. Tak ada yang lebih menyenangkan selain untuk mengabdi pada rasa memiliki, karena sebanding dengan kebaikan.

Hirata punya rasa memiliki itu. Ia tak peduli dengan semua kengerian hidup karena ia telah merasa memiliki sesuatu yang menurutnya, sangat berarti. Ia kesulitan untuk larut dalam kegerahan pemuja kosmopolitan, lantaran rasa kepemilikan yang membuatnya kuat bertahan. Ia bisa jadi ngeri dengan tawaran hidup yang gemerlap, karena bayangan idealnya tentang kesederhanaan yang terwujud atas penghormatan kemanusiaan. Ya, semua itu mencukupi kadar kemanusiaannya.

Dedikasi mensyaratkan kepercayaan diri yang telah dimiliki. Telah dimiliki itu tertaut jiwanya. Akan sakit bila yang satu disakiti. Akan senang bila yang satu berbahagia. Akan kehilangan bila yang satu tak ada. Mereka jelas saling merindukan.

Selasa, 09 September 2008

PRAKSIS


Walaupun kita cuma dua atau tiga ribu, tetapi kalau kita dalam aksi politik sebagai avant garde (baca: pemimpin) dikelilingi oleh beribu-ribu proletar dan nonproletar sebagai reserve (baca: pendukung), dan disukai oleh seluruh rakyat yang tertindas sebagai landstorm (baca: kekuatan penekan), kita bisa menang.

Tan Malaka dalam Semangat Muda (1926)

TEPATKAH sekolah anak-anak penerus bangsa kita? Akankah setelah lulus nanti, pekerjaan bisa gampang didapat? Apa pula perlunya bergabung ke organisasi perjuangan? Apakah ia dapat dijadikan tumpuan untuk cepat lulus dan punya banyak uang?

Berderet pertanyaan serupa bisa jadi lebih banyak dalam benak anaks sekolahan baru—bahkan lama—siapa pun dia. Pertanyaan yang selalu mengiringi hari-hari sekolah mereka lantaran terkadang, sekolah mereka memang tak segemerlap yang lain. Kekhawatiran ini mungkin semakin meninggi saat dijumpai kenyataan bahwa ternyata kawan-kawannya lebih tinggi reputasinya. Minimal, untuk uang saku dan tongkrongan sepintasnya.

Namun benarkah serumit itu? Benarkah anak sekolahan tak memiliki prospek? Benarkah organisasi perjuangan hanya tempat untuk menghabiskan waktu? Akankah lulusan sekolah di kita mampu memberikan yang terbaik bagi agama, nusa, bangsa, orang tua, juga dirinya sendiri?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, alangkah lebih baiknya kita diagnosis kondisi Indonesia hari ini. Sebab, situasi nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi global, lantas turut berpengaruh besar pada kondisi lokal.

Indonesia Hari Ini

Alangkah mujurnya anak-anak sekarang. Mereka dihadapkan pada permasalahan kompleks kebangsaan yang entah kapan bisa terselesaikan. Yang paling dekat, biaya sekolah terasa semakin mahal dan harga-harga kebutuhan kuliah pun tinggi. Belum lagi soal gaya hidup dan pemuasan keinginan pribadi yang tentu, ingin diakui sebagai seseorang yang ‘berkecukupan’.

Sekolah saja belum lulus, sementara di kertas makalah yang tiap saat mereka digeluti terpampang jutaan data pengangguran. Mendapatkan nilai tinggi saja mesti berpeluh-peluh, sementara kenyataan membuktikan, lulusan bernilai tinggi tak selalu beruntung setelah lulus. Dan semua itu ternyata berhubungan erat dengan realitas nasional Indonesia yang setidaknya bisa diringkas menjadi empat hal: kemiskinan, kebodohan, monopoli, dan negara yang lemah.

Pertama, kemiskinan. Karena masyarakat Indonesia masih berpendapatan rendah maka kemiskinan pun di mana-mana. Anak-anak orang miskin tak punya banyak pilihan karena kompetisi mengharuskan uang yang kadang, tak sedikit. Lihatlah uang yang disediakan beberapa orang tua yang menginginkan anaknya masuk ke instansi terpandang. Bila tak ada uang, mereka akan kalah bersaing.

Kedua, kebodohan. Karena miskin, banyak orang yang tak bisa sekolah. Kalau pun bisa kuliah, mereka akan masuk ke jurusan yang tak terlalu menguras uang. Fasilitas yang sedikit karena sekolahnya murah akan membentuk lulusan yang tak terlalu menguasai skill. Banyak dari mereka yang kemudian tak bisa bersaing hanya karena dulu, laboratorium sekolah lain lebih komplit dan jaringan pendidikannya lebih variatif.

Ketiga, monopoli. Lulusan sekolah-sekolah di Indonesia dihadapkan pada kondisi ekonomi yang dikuasai kapital besar. Di sana-sini banyak perusahaan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang kaya di negeri ini. Kalau pun berniat wirausaha, karena modal tak sebesar perusahaan-perusahaan itu, mereka akan sangat kewalahan. Maka wajar kalau banyak lulusan kampus yang lebih memilih menjadi buruh/karyawan atau PNS.

Keempat, negara yang lemah. Semua problem itu sebenarnya akan sedikit tertolong bila negara kuat. Tapi lihatlah, banyak sekali kebijakan publik yang berpihak pada kapital besar daripada rakyat. Sebabnya jelas. Kapital besar saat ini telah menguasai negara dan dapat seenak perutnya mengarahkan kebijakan pemerintah, meskipun itu berurusan dengan hajat hidup rakyat banyak.

Penggolongan Kelompok

Lebih lanjut, sebenarnya negeri ini hanya diisi oleh empat kelompok dominan. Mereka saling memperkuat diri untuk mengalahkan yang lain.

a. Kapital Besar

Kapital besar yang dimaksud adalah perusahaan swasta, baik dalam maupun luar negeri, yang memiliki modal besar. Mereka memiliki ribuan bahkan ratusan ribu buruh/karyawan. Walau ada serikat pekerja dan bermacam tekanan dari negara dan kelompok masyarakat yang menginginkan kehidupan buruh/karyawannya lebih sejahtera, tapi tetap saja perusahaan-perusahaan itu tak bisa dipengaruhi. Mereka sering beranggapan, “Hari ini perusahaan memecat seribu buruh/karyawan, di meja HRD telah ada sepuluh ribu lamaran kerja.” Akhirnya, mereka tak sungkan untuk mengatur gaji buruh/karyawan serendah mungkin. Bila kemudian ada perusahaan bermodal kecil tapi juga sewenang-wenang seperti perusahaan besar maka mereka juga bisa dikategorikan pada kelompok yang sama.

b. Negara

Negara yang dimaksud adalah pemerintah. Karena saat ini era negara-bangsa (nation-state) maka negara sangat diperlukan untuk melakukan konsolidasi nasional dengan doktrin baku, nasionalisme. Mereka diharapkan mampu mempersatukan negeri dan dapat menjadi administrator yang baik bagi rakyatnya. Negara memiliki pegawai-pegawai pemerintahan untuk melaksanakan semua fungsinya.

c. Proletar

Proletar adalah sebutan kelompok bagi semua kalangan yang sangat peduli pada kesejahteraan rakyat. Ia bisa jadi seorang buruh/karyawan perusahaan. Ia bisa jadi seorang petani atau pedagang kecil. Dan ia bisa jadi juga seorang intelektual.

d. Nonproletar

Nonproletar diisi orang-orang yang berprofesi sama dengan kelompok proletar, tapi mereka hanya berorientasi pada kepentingannya. Ia bisa jadi seorang buruh/karyawan yang hanya memikirkan gaji dan tak peduli pada yang lain. Ia bisa jadi seorang petani atau pedagang kecil yang hanya ingin kekayaan pribadi. Ia bisa jadi juga seorang intelektual yang mau dibayar untuk kepentingan kapital besar atau negara.

Landasan Pikir

Untuk menyelesaikan persoalan, landasan pikir juga sangat penting. Beberapa hal dapat dijadikan referensi untuk memberikan keyakinan pada diri sendiri atau kelompok. Keyakinan tentang hidup yang harus selalu lebih baik.

Pertama, kekayaan itu bukan milik manusia. Ia adalah amanah dari Allah Swt. Adanya si kaya dan si miskin pada setiap zaman itu keniscayaan atau sebuah keharusan sejarah. Kalau tak ada si miskin tentu si kaya tak ada. Begitu pun sebaliknya. Artinya, kedua kelompok ini ada memang tidak untuk dibenturkan. Persoalan muncul saat si kaya zalim pada si miskin dengan tidak memberikan sebagian hartanya untuk membantu si miskin. Atau saat si miskin memilih untuk berbohong, menipu, dan berperilaku buruk sejenis untuk menjadi kaya. Saat disadari bahwa kekayaan atau kapital itu hanya amanah maka persoalan kemiskinan tak perlu saling menyakiti. (Catatan: disebut kemiskinan karena berisi kumpulan persoalan tentang si miskin. Kemiskinan juga akan selalu ada menemani kekayaan)

Kedua, hidup tidak untuk berlebih-lebihan. Apa hebatnya bila seseorang memiliki kekayaan melimpah tapi ada tetangganya yang masih kekurangan? Apa enaknya dipuji-puji orang sebagai sosok sukses, tapi tak bisa membantu kawan sendiri yang terbelit persoalan rumah tangga, terutama keuangan atau PHK?

Ketiga, akumulasi atau pemusatan modal itu merusak keseimbangan sosial. Sudah wajar adanya bila pemerataan kapital itu penting. Bila kapital hanya terpusat pada segelintir orang maka akan terjadi ketimpangan, dan berbuah chaos atau kerusakan.

Keempat, pentingnya pendidikan bagi semua. Dalam kondisi sesulit apa pun, pendidikan sangat penting bagi perkembangan manusia dan kemanusiaan. Bila masyarakat di suatu tempat sudah tak lagi mendapatkan pendidikan karena bermacam hal, termasuk karena miskin, maka mereka tinggallah menunggu kehancuran.

Kelima, kultur egaliter-demokratis atau menganggap setara sebagai manusia sangatlah penting bagi keberlangsungan kemanusiaan. Dengan itu, tak ada lagi keinginan untuk menguasai, dan saling menghormati sesama manusia akan langgeng.

Keenam, nasionalisme juga penting. Kompetisi global mensyaratkan soliditas nasional yang kuat. Bila tak ada persatuan dan kesatuan nasional, negeri ini akan sangat gampang dikuasai bahkan dihancurkan bangsa lain.

Pola Aksi

Setelah mendiagnosis persoalan, diperlukan pola aksi untuk kemudian diturunkan pada program-program nyata. Lebih lanjut, ini dapat disebut dengan ‘gerakan perjuangan’.

Pertama, konsolidasi proletar. Mengapa tidak konsolidasi kelompok yang lain seperti negara, kapital besar, atau nonproletar? Sebab, saat ini, kelompok proletarlah yang paling dapat diharapkan menyelesaikan persoalan lantaran mereka selalu berpikir kesejahteraan dan keadilan rakyat banyak. Mereka juga menginginkan perubahan dan berusaha keras mengurangi kezaliman kapital besar. Sementara, nonproletar hanya mementingkan kepentingan mereka saja. Dan negara sangat lemah posisinya di depan kapital besar. Pada tahap ini, organisasi perjuangan dapat diharapkan menjadi ajang terwujudnya konsolidasi proletar. Jadi, dari organisasi perjuangan akan lahir banyak figur yang berpikir tentang kepentingan rakyat banyak. Sebab, bila mereka terbiasa menyelesaikan persoalan kompleks maka persoalan pribadi mereka akan relatif gampang bisa dipecahkan. Mereka akan mandiri dan berguna bagi orang lain.

Kedua, membuka unit usaha di sektor ekonomi basis. Tahap ini sulit bagi umumnya anak sekolahan, tapi dapat dianggap sebagai ladang pengalaman untuk kemudian ditekuni ketika lulus. Kata kuncinya adalah pemberdayaan. Organisasi perjuangan semestinya dapat melakukan kreasi-kreasi untuk membentuk komunitas yang mandiri, untuk kemudian diarahkan pada masyarakat yang mandiri. Mandiri yang dimaksud itu tidak tergantung pada perusahaan besar atau negara.

Ketiga, memberikan pendidikan bagi semua. Pendidikan yang dibidik tidak hanya formal, tapi juga informal dan nonformal. Formal itu sekolah umum dan resmi. Sementara informal itu sekolah tanpa gedung dan tanpa sertifikat; bisa pengalaman atau autodidak. Pendidikan nonformal adalah pendidikan luar sekolah tapi bersertifikat seperti kursus-kursus. Jadi, kalau tak bisa membuat sekolah, bisa digelar training singkat. Bila pun itu tak bisa terwujud dapat dilakukan kaderisasi terstruktur, tanpa sekolah dan training. Organisasi perjuangan tentu akan sangat berguna untuk melakukan pendidikan yang dimaksud.

Keempat, komunitas ini akan mempengaruhi perubahan sosial, juga mengurangi dominasi kapital besar dan membuat pemerintahan lebih berkualitas. Bila ini berhasil, semua pertanyaan di awal tulisan akan bisa diselesaikan, termasuk memotong lingkaran setan kemiskinan. Amin.

Kamis, 28 Agustus 2008

REVALAGUE-Revolusi Ala Gue


Ideologi terasa usang setelah tesis Huntington seperti membelah kesumat kaum anti-Barat yang ‘seperti’ anti-kapitalisme. Sebab nyatanya, hari ini, kapitalisme justru berkolaborasi dengan globalisasi bertajuk kapitalisme global. Ia bahkan mirip senyawa yang terus beranak-pinak, dan membingungkan oposan-oposan sejatinya. Lihatlah, kapitalisme global ternyata menyimpan nafsu neoliberalisme yang sarat pragmatisme, individualisme, dan hedonisme. Isme ikutan yang kemudian turut nangkring dalam chart komunalisasi isme tak berujung itu melahirkan sekularisme, humanisme, dan pluralisme.

Lebih dalam, Thomas Kuhn memilih diksi ‘paradigma’ untuk menggantikan ideologi; genre baru adukan bermacam isme bernada ekletik yang membangun komposisi cita-cita ideal, dunia yang lebih baik. Publik yang semakin tak peduli pada isme, dan memilih sebentuk apa pun asal menyejahterakan, semakin membuat diskursus tentang ideologi menyusut drastis.

Meski beberapa negara masih yakin pada dua isme besar, kapitalisme dan sosialisme, tapi secara umum gejala menipis dan memudarnya ideologi semakin tampak pada realitas bernegara saat ini. Pada Musda HMI Jateng-DIY terakhir di Balai Kota Solo, Anas Urbaningrum mengutip pernyataan Menlu RRC ketika berkunjung ke Indonesia, “Menurut kami, ada kekuatan pasar yang bergerak dan sulit untuk kami lawan. (Ia sedang mendukung kapitalisme global. Padahal, Cina jelas-jelas komunis yang anti-kapitalisme) Kami tidak peduli apa nama sistem ekonomi kami… yang penting, rakyat kami bisa sejahtera.” Anas mengingatkan bahwa kapitalisme, sosialisme, atau apa pun namanya tidaklah terlalu penting. Dan hal yang paling penting adalah kemakmuran bangsa.

Ia juga mengatakan bahwa ada beberapa faktor kunci pembentuk kecenderungan dan kebijakan di negeri ini secara berurutan, yaitu ekonomi, kepemimpinan, budaya, birokrasi, dan agama. Betapa Anas memang khawatir terhadap nalar komunitas HMI yang terlalu haus kekuasaan. Sebab, baginya, ternyata, uanglah yang mendominasi negeri ini. Setelah itu, baru figur pemimpin, tatanan sosial, kemudian kekuasaan. Agama, secara nyata, hanya ditempatkan pada akhir analisis. Entah di posisi mana Anas menempatkan ideologi?

Pada 1999 silam, kepada kader-kader HMI Cabang Sukoharjo sewaktu berkunjung ke sekretariat pasca membuka Ospek UMS, ia berfatwa, “HMI tidak usah masuk ke dalam perdebatan soal gerakan kiri atau kanan. Yang penting dilakukan oleh HMI adalah mengembangkan kritisisme dan reproduksi intelektual.”

Lengkap sudah. Bahkan mungkin, bila ada diskusi tentang matinya ideologi sekalipun, tak akan banyak orang yang peduli.

Sebuah kalimat penting Cak Nur pun terngiang, “Kebenaran tidak akan bertentangan dengan sunatullah.” Artinya, bila ideologi bertentangan dengan sunatullah, ia akan hancur dengan sendirinya. Seperti diketahui, Cak Nur juga memberi tesis penting tentang Islam yang berbeda dengan islamisme. Ya, Islam tidak sama dengan ideologi Islam atau islamisme. Pada konteks ini, Islam akan menginspirasi lahirnya berlaksa-laksa ideologi, untuk kehidupan yang lebih baik. Artinya, ideologi hanya sejenis buah pikir, yang bisa saja terus diperbarui agar kontekstual. Ideologi tetap masih ada bila terus dikreasikan, dan… tak bertentangan dengan sunatullah.

Inisiasi

Beberapa waktu yang lalu, seorang kabid PTK/P Komisariat Umar bin Khathab (HMI Sukoharjo) berdiskusi banyak bersamaku. Ia hendak membangun cluster pertanian, dari pembenihan hingga market. Sederhana saja, ia bilang padaku, “Petani kita perlu eksis.” Yang menarik, dia bukan tipe based on state. Dia bukan tipe kader HMI yang tak bisa bergerak bila tanpa back-up sistem besar. Ia hadir tanpa peran negara, perusahaan, atau dana-dana sumbangan. Ia memutuskan untuk merangkul beberapa kawan, dan menyiapkannya, swadaya.

Ia bolak-balik Sleman, Solo, dan beberapa tempat di Jawa Timur untuk belajar dan menggelar simulasi pertanian, yang menurutnya menyenangkan. Ia tak hambar mimik saat membekap semua teorisasi tentang kemandirian, yang tak komplit, hanya karena sang teoretikus yang belum bergabung. Sebentuk kekurangcerdasan menyeimbangkan semuanya; keluarga, modal, menikah, dan mungkin... mengabdi.

Sejenak, aku mulai berkernyit pikir. Barangkali karena ia belum menikah, hingga ia tak sepusing kawan-kawan berstatus menikah. Ia juga baru hendak lulus, yang mungkin bisa dianggap belum berpengalaman. Atau yang paling nyinyir, banyak orang akan menilai, “Ia terlalu bersemangat.”

Apa pun, aku merasa perlu untuk memberitahukan pada khalayak tentang gejala baru yang barangkali bisa direspons positif. Untuk sebuah cita-cita tentang hari yang lebih baik. Aku tergiur bukan lantaran semangatnya, tapi karena sejak awal... ia berhasil mengetengahkan aktivitas pemadu kepentingan diri dan hajat hidup orang banyak.

Dulu, aku pernah bicara banyak pada salah seorang kawan tentang kemandirian rakyat. Sebuah diskursus rumit lantaran korporasi besar sering tak memberikan pilihan. Ada kesepakatan yang belum final tentang kemandirian dan pendidikan untuk masyarakat yang sedikit terumus, meski kemudian... hingga hari ini, semua masih saja di benak.

Aku pernah agak beralis tinggi sewaktu salah dua kawan menawarkan kewirausahaan. Bagiku, bila tanpa pemahaman keyakinan akan perlunya distribusi pendapatan, meski di beberapa hal ada tawaran pemberdayaan, ini akan menjadi akumulasi modal baru. Dan sejauh yang aku pikir, ini mengerikan.

Aku juga sempat bergerilia pilihan saat salah tiga kawan hendak menjadi pencari bakat bagi sekolah-sekolah asing di sekitaran Jakarta, yang menurutku, hanya melanggengkan dominasi modal dan korporasi besar.

Dialektika

Sebelum bicara lebih jauh, ada problem yang sering menjadi ikutan inisiasi. Aku menyebutnya, perilaku altruis yang jumawa. Altruis karena selalu berurusan dengan hajat hidup orang banyak. Menyelesaikan persoalan, salah satunya. Jumawa karena serasa sendiri hadir dalam semua aktivitas altruis itu.

Aku kutip sedikit tesis Madilog karya Tan Malaka bahwa masyarakatlah yang menentukan ide, bukan ide yang menentukan masyarakat. Problemnya bukan pada apakah ide atau aksi yang perlu didahulukan, karena keduanya diciptakan Allah Swt. berpasangan; tapi pada pemberian porsi lebih pada eksistensi manusia sebagai makhluk-Nya. Artinya, jelas bukan pada tempatnya bila ada yang merasa bahwa kedatangan seseorang untuk mengubah keadaan adalah lebih signifikan ketimbang kesadaran massa-nya. Simpulan ini juga mengantitesis pernyataan nihilis, “Semua pembahasan tentang perubahan datang terlambat.” Karena, perubahan terjadi karena banyak sebab, bukan hanya gagasan, inisiasi, atau ketokohan.

Aku setuju sebutan epistemic community, meski dulu slogan ini dipakai Rizal Mallarangeng untuk mengawal Neoliberalisme di awal 90an, yang jelas sangat tidak aku setujui. Aku memilih pola ini karena perlu menyatukan semua profesi untuk kepentingan yang lebih besar (semirip proletar).

Jangan pula lupa memosisikan ‘pemberdayaan’ yang kelak akan membuat semua ini terjadi begitu saja dan wajar. Pemberdayaan untuk komunitas, juga publik yang akan diberdayakan. Sekali lagi bukan lagi pada seberapa besar atau seberapa kuat sebuah komunitas mempengaruhi komunitas lain. Sebab, perubahan tidak terjadi oleh satu atau dua orang, juga bukan satu atau dua gagasan.

Kalau pakai paradigma pembelaan, barangkali aku lebih memilih untuk tengah berpikir membela komunitas dengan gagasan bersama, dan kemudian dapat memberikan pembelaan pada masyarakat lebih luas. Meski sekali lagi, aku tidak percaya perubahan terjadi karena ada ‘perasaan membela’ dari pelaku perubahan.

Itu dialektika.

Ideologi

Setahuku, ideologi ada dua jenis. Pertama, ideologi dalam pengertian praksis. Ideologi jenis ini komplit, dari episteme hingga praksis. Semisal, komunisme. Makanya ia mensyaratkan borjuasi proletariat pada fase revolusi pertama, untuk kemudian sampai pada sosialisme. Kedua, ideologi dalam pengertian world view. Ada derivasi kontekstual nilai yang pernah dirumuskan seseorang pada ranah tempat penafsir tinggal. Misal, ada demokrasi maka lahirlah Demokrasi Pancasila. Ada Islam maka ada NDP HMI. (dari LK II Kudus oleh anditoaja.wordpress.com)

Ketidakadilan selalu menjadi garapan setiap ideologi. Selain ada tujuan, ideologi juga memiliki metode gerakan dan aksi. Aku memilih untuk menjelaskan duduk perkara ini pada persoalan-persoalan di sekitar kita, yang sangat aku mengerti validitasnya, atau bukan dari data yang sayup-sayup. Semisal, setiap tahun akan lahir lulusan kampus, yang kemudian harus tercerai berai, bahkan mungkin bermusuhan, hanya karena tak ada orientasi gerakan pascalulus. Ada yang bilang, semua butuh aktualisasi. Aku setuju. Tapi alangkah lebih baik bila kemudian, kata kunci penting selanjutnya adalah sinergisitas. Sinergi ada setelah komitmen. Meski mungkin, suatu saat kita perlu kirim orang kita untuk mengabdi ke Mossad Israel, Wall Street AS, atau Berkeley, agar kita benar-benar tahu kekuatan dunia. Meski tentu banyak tak disukai.

Misal yang lain, berapa banyak kawan kita yang kemudian merasa tak cukup mampu mandiri, hanya karena ia tak bisa memecahkan persoalan hidupnya? Ada yang bilang, “Semua orang susah. Jadi jangan bermanja-manja. Itu harus dilalui.” Aku setuju. Tapi aku tak setuju bila ini lantas membelah semua komitmen kemanusiaan yang bahkan kita sepakati sebagai harus adil.

Itu yang paling dekat. Hingga suatu saat, kita akan bergerak untuk jutaan kaum miskin dan dominasi kapital dan state yang sangat sulit dienyahkan, hanya karena banyak orang yang merasa tak punya pilihan lain.

Revalague

Aku sempat berbahak sangka sewaktu memilih kata REVALAGUE atau Revolusi Ala Gue. Tapi bukan itu hal pentingnya. Aku setuju kata Tan Malaka tentang revolusi yang tak hanya diinisiasi satu-dua orang besar atau satu-dua gagasan besar. Eksistensi, individuasi, rausyan fikr, kader profetik, atau yang paling jauh khalifatul fil ardh berguna untuk mendukung terjadinya perubahan kolosal yang dimaksud. Jadi revolusi tidak akan terjadi bila para pelakunya sendiri tidak bisa menangkap eskalasi dialektika yang ada. Simpelnya, bila aku masih merasa bahwa Revalague itu final, berarti aku tak paham sunatullah. Bahwa analisis yang lahir untuk perbaikan kondisi adalah semata untuk ‘menebak’ jalur dialektika yang aku maksud, bukan pemaksaan kehendak, apalagi interogasi.

Pertanian, perempuan, anak-anak, atau apa pun bisa menjadi subjek diskursus, tapi tidak untuk dimenangkan salah satunya. Nah, epistemic community sebagai pola gerakan tidak hanya diposisikan sebagai pola ideologi (yang telah komplit bila bersanding dengan tujuan dan petunjuk aksi), akan tetapi juga sebagai pola runutan menuju bangunan ideologi yang saat ini belum jadi.

Lahirnya ideologi berkonsekuensi pada sebutan pembuatnya, yaitu ideolog. Padahal, marxisme baru ada setelah Marx dikubur. Kalo kata Daniel Dakhidae, penulis Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, cendekiawan itu sebutan yang dilahirkan orang lain, bukan pendakuan. Walau nama ICMI mengantitesis ini. Pijakan tentang perlu lahirnya ideolog jelas bertentangan dengan dialektika. Jadi, aku tidak sedang menjadi ideolog, tapi aku masuk dalam epistemic community untuk menemukan pilihan juang, yang bisa saja dianggap ideologi.

Dari ketiga hal ini, ditambah ingin mencari format ‘adukan’, akan sulit mengatupkan semuanya pada sebutan yang hanya disebut ‘ideologi alternatif’. Lebih lanjut, nama tak perlu dikedepankan, hanya bila suatu saat, setelah sistem berpikirnya diketemukan, akan lebih baik bila disepakati saja. Jika agama punya surga, komunis punya sosialisme ilmiah, AS punya demokrasi dan welfare state, revalague tidak menyebut ini komitmen, atau supremasi (kaum strukturalis), atau kompensasi (pragmatis). Aku menyebutnya konsekuensi.

Sedikit pertanyaan yang bisa aku lontarkan. Akankah ada epistemic community untuk kemudian menggagas produk juang yang integral, lantas bermuara pada peran kemasyarakatan signifikan?

Pun saat ada yang bertanya, “Mas dan Mba, ada pekerjaan buat saya, ngga?” bukan berbalas, “Hidup itu ya harus berusaha. Jangan kebiasaan meminta-minta.”

Menurutku, itu berlebihan. Wallahu a’lam bi shawab.

Senin, 25 Agustus 2008

Fathul, Budi, dan Revolusi

BANDUL waktu menunjuk bulan November 2000….

Malam beranjak larut. Bagi beberapa gelintir mahasiswa di sebuah kos-kosan dengan plakat kecil bertuliskan HMI Cabang Sukoharjo Komisariat Salman Al-Farisi UMS, tanda-tanda kehidupan justru baru tampak. Letaknya yang di pinggir sawah dan sungai, agak jauh dari permukiman, memberikan kenyamanan agak berbeda, lantaran tak akan menyinggung masyarakat bila pun harus menggebrak meja, berteriak marah, atau sekadar menggelar konser terbatas semalaman dengan harmonisasi dua gitar plus satu ember plastik.

Makhluk yang berdatangan ke tempat ini juga tak jelas rupanya. Suatu ketika, seorang kumal datang mengetengahkan kegalauannya tentang bangsa. Pada kali yang lain seorang klimis mendedahkan filsafat sebagai tanda kepungkasan pikirnya menyelesaikan satu buku. Pada waktu yang berbeda, seorang berkaca mata dengan wajah tirus tak terurus girang bukan kepalang hanya karena bisa menjadi panitia Ospek.

Tak ayal, dalam satu waktu, terkadang, tempat ini lebih mirip Pasar Kleco Solo yang bising di awal hari, dengan komoditas jual yang agak berbeda; retorika. Belum lagi, tiba-tiba ada yang terkesiap drastis hanya karena esok pagi akan digelar ujian. Momentum penting bagi semua mahasiswa, tapi senyap bagi komunitas ini. Sebuah teladan buruk.

“Fathul, menurut elo, revolusi itu bisa terjadi di Indonesia, ngga?” pertanyaan penting mengawali perhelatan pikir malam ini.

Pelontar pertanyaan ini berkaca mata agak tebal, berambut semi keriting, dan sekutu rokok yang loyal bernama Budi Gunawan Sutomo. Ia Kabid PPA Komisariat Ahmad Dahlan I; komisariat pertama di HMI Sukoharjo. (Kelak, ia masuk jajaran Staf Ketua HMI Badko Jateng-DIY) Budi memang terhitung sering datang ke komisariatku.

Sosok ini menggilai khazanah zoon politicon ketimbang homo socius. Ia lama berkutat pada skenario alam tentang homo homini lupus. Memilih dunia baru guna meyakinkan dirinya juga publik, tanda ia yakin bahwa dunia belum pada jalur yang benar.

Budi sosok kontroversial. Solo menjadi saksi, tentang adrenalin yang ia kerahkan sepenuhnya pada gerakan mahasiswa. Hasilnya fantastis. Semester tiga, ia sanggup mendesain konstitusi KAMA UMS. Biasanya, seumuran itu, beberapa mahasiswa lebih memilih mengekor atau paling banter, menganggap diri underdog, atau meski tampak pandai, ia pasti tak PD unjuk eksistensi. Budi berbeda. Ia pembaca bandel, pendiskusi semalam suntuk, juga penyisir kasus yang tekun. Meski tak pandai mengurus badan, dan terkenal doyan tidur, ia dapat mempersembahkan karya-karya terbaiknya pada gerakan mahasiswa.

Untuk belajar marxisme, ia merapat ke PRD, komunitas yang tak populis dan bahkan tak disukai kader-kader HMI di sekitaran Solo. Untuk mengambil peran gerakan, ia memilih berakrab-akrab ria dengan buruh pabrik atau petani di sudut-sudut perkampungan kumuh. Ia menikmati semua itu sebagai bagian dari dirinya. Meski reputasi politiknya tak terlalu mendapat tempat di kalangan internal HMI, Budi melenggang tak terbendung dan tercatat sebagai salah satu ikon gerakan mahasiswa di Solo.

Fathul, tokoh yang ditanyai Budi, bergeming. Ia hanya sedikit bergerak untuk merapikan buku-buku tebal di depannya. “Revolusi itu ngga usah direncanain. Kalo kapitalisme telah sampai puncaknya, cita-cita komunisme Marx akan terjadi dengan sendirinya,” timpalnya singkat. Setelah sekian lama, aku baru tahu, bagi Leninis-Stalinis, revolusi memang terdiri dari dua tahap. Pertama, borjuasi proletariat. Kedua, sosialisme.

Sosok yang kedua ini Kabid PPA-ku. (Kelak, ia juga mampir sebagai Pengurus HMI Badko Jateng-DIY bersama Budi) Beberapa bulan belakangan ia menjadi teman diskusi intensifku. Ya, aku baru saja lulus LK 1 akhir April kemarin. Biasanya, ia bersepeda ria datang ke kosku hanya untuk meminjami buku. Topi rimba yang lekat di kepalanya selalu mengingatkanku pada undangan diskusi NDP yang selalu sepi, dengan tak lebih dari tujuh kader yang hadir; hingga aku ditunjuk menjadi moderator untuk pertama kalinya.

Fathul Alam. Aku menyebutnya, godfather oksidentalisme HMI Sukoharjo. Orang penting yang satu ini bertipikal autentik. Ia sangat gemar berekspresi dengan cara pandang yang asli ia dapatkan sendiri, bukan adopsi apalagi plagiasi. Walau kental eksistensialismenya, ia menyatakan tegas, bukan penganut Jean Paul Sartre. Aku mesti berpayah-payah menyusun partisipasi yang bukan meniru-niru atau setidaknya, kalau pun aku berniat mengutip, Fathul belum sempat mengetahuinya. Soalnya, bila tak hati-hati, aku bisa dianggap tak memiliki kepribadian, malas berpikir, atau bahkan, kufur nikmat. Dahsyat, kan? Serasa di area Khalifah Al-Ma’mun.

Dia mengajakku untuk bersilaturahmi pada pemikiran sederet pemikir Timur Tengah kenamaan seperti Ali Syariati, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, atau Murtadha Muthahhari. Dedengkot-dedengkot logika Yunani semisal Thales, Socrates, Plato, Aristoteles, hingga Plotinus mewarnai hari-hariku bersama Fathul. Ia sangat doktriner, mirip guru bahasa Arabku di Ibtidaiyah dulu, yang tiap kali ketemu harus menghafal seabrek mufradad. Ia peletak dasar kebutuhanku akan pentingnya membaca buku dan mengubah mind set agar meyakini kebenaran dengan epistemologi yang cukup; tidak taken for granted atau tertipu pseudo-agama—kalimat ini selalu saja muncul tak jemu di setiap deskripsinya tentang eksistensi.

Bila aku melabelinya sebagai Oksidentalis HMI Sukoharjo, lantaran dialah yang paling getol menyuarakan pentingnya cara pandang bahwa Barat bukan segalanya. Tingkah generasi muda Islam yang kebarat-baratan jelas merupakan bentuk keinferioran sikap yang harus dihilangkan. Sebab, menurut Fathul, Barat berperadaban profan; tidak berstandar transendensi yang cukup. Jadi, adalah lemah bila seseorang masih beranggapan kalau Barat itu superior dan layak diikuti karena mereka tidak berbaiat pada kesempurnaan hakiki.

Beberapa jeda waktu kemudian, Budi dan Fathul pun beradu pendapat sekian lama dengan bahasa-bahasa yang tak terlalu aku mengerti. Sekalinya aku turut dalam percakapan, mereka tertawa. Seringnya, aku belum pernah menjamah buku-buku yang pernah mereka tiduri. Atau setidaknya, masih dianggap kader baru yang tak tahu menahu kata sakral yang menginspirasi Tan Malaka untuk tak pernah duduk di kursi kekuasaan… revolusi.

Aku tetap ternganga hingga Subuh menjelang. Entah apa yang mereka bicarakan.**

Kamis, 14 Agustus 2008

Tan Malaka


Hari ini aku ke Palembang. Bisa sampai satu minggu,” seorang kawan berpamitan padaku. Dia hendak memberikan pembekalan political marketing pada sebuah basis politik di sana. Semacam arahan singkat membidik preferensi voters agar kesengsem dan mendukung calon-calon pejabat yang telah disiapkan.

“Hati-hati di jalan. Aku cuma bisa bilang begitu. Ini kalimat standar. Sebab, perjalanan ini bukan bagian agenda revolusi,” timpalku dingin. Entah mengapa, beberapa menit belakangan, aku kembali kerasukan gumpalan pikir Marx tentang pentingnya antitesis dominasi. Aku mulai muak dengan semuanya.

“Ini juga revolusi. Revolusi melalui political marketing,” sanggah kawanku agak berdesing.

“Revolusi untuk kekuasaan melahirkan political marketing. Sebentuk agenda kaum revolusioner gadungan yang tak bisa bertahan, hanya karena tak punya kekuasaan. Tan Malaka disebut cerdas karena ia bisa eksis secara politik tanpa dukungan kekuasaan formal. Bukan malah jadi kacung syahwat kekuasaan bernama demokrasi,” akhirku menukik.

Aku sebut sebuah nama penting di jalur revolusi, negeri Indonesia. Dan kawanku pun tak lagi berkelit. Ia pun mengamini semua stempel itu.

***

Dulu, saat 1926 revolusi menggema di Banten dan Sumatera, sebagai tanda cita meruntuhkan kolonialisme Belanda, kader-kader komunis masih ingusan. Mereka terlalu bernafsu menurunkan simulasi das kapital dalam benak Engels dan Marx ke ranah Hindia yang sama sekali belum terdidik. Deru revolusi hanya nyinyir ditelan angin sore yang lembut menerpa badan-badan kurus rakyat Hindia.

Pada 1948, Semaun dan Muso kembali meneriakkan Revolusi di Madiun. Sekali lagi, dengan merah putih di tangan. Parahnya, momentum ini justru digelar pada masa pertumbuhan republik yang masih balita. Bukan simpati yang didapat, mereka justru dianggap duri dalam daging.

Sewaktu Aidit mengusulkan Angkatan ke-5 dalam tubuh republik pada 1965, dan diduga kuat turut melibatkan PKI dalam konflik bersenjata di tubuh TNI, revolusi pun menjadi sangat mengerikan. Hingga hari ini, semua hal berbau Indonesia berusaha kuat menepis trauma berdarah-darah itu dari ingatan generasi penerusnya. Bung Karno bahkan pernah bilang, “Ini revolusi. Jadi tak akan pernah ada kebebasan pers.” Sebaris kalimat bernada diktatorian, hasil persekutuan aneh PKI dan Bung Karno. Yang bahkan membubarkan Masyumi. Yang bahkan menafikan teguran Hatta soal demokratisasi. Yang bahkan hendak membubarkan HMI.

Tan Malaka berkata, “Mereka kaum revolusioner yang kurang bersabar.”

***

“Kang, aku yakin, Indonesia yang lebih baik itu ada. Sekarang, aku dan kawan-kawan sedang belajar serius bertani. Kalau petani bisa mandiri, Indonesia yang sejahtera akan terwujud,” ujar seorang kawan beberapa waktu lalu.

Bicaranya tak hanya isapan jempol. Sering kali saat aku menemuinya, pengetahuan tentang pertaniannya semakin mumpuni. Ia sangat berobsesi mengetahui proses pertanian, mulai dari awal tanam hingga pemasarannya. Kelak, bila semua ilmu itu telah dikuasai, ia tinggal melakukan penggalangan konsolidasi antarpetani untuk menyejahterakan bangsa. Yang mengharukan, kalimat ‘Indonesia yang lebih baik’ itu ia kutip dari blog-ku. Empati yang terang membuatku belingsatan, lantaran dianggap saudara sejiwa dan sepikiran.

“Asal saat semua telah besar, bukan justru menjadi penguasa baru yang ternyata berkelakuan sama dengan orang-orang yang menurut kita saat ini sebagai orang yang salah,” jawabku khawatir. Sebab, semangat meledak-ledak hanya akan mengantarkan seseorang pada keterburuan yang jelas mencederai cita-cita besar semacam kemanusiaan seperti ini.

Telepon genggamku berderit. Ada sebuah pesan singkat menyapaku, “Kang, ini aku lagi di Bandung. Mau presentasi di depan pengusaha-pengusaha. Gimana caranya biar aku ngga grogi?”

Alisku langsung naik. Sejak kapan orang-orang dekat di sekitarku bisa dibuat setengah hati di depan ngilunya penderitaan kaum buruh atas UMK yang rendah dan fasilitas pemberdayaan dari negara yang minim? Sejak kapan status-status jabatan perusahaan yang hanya bisa berbangga pada dasi dan mobil mewahnya itu mampu membuat seorang kawanku terkesima?

“Kita tidak akan pernah bersujud pada modal dan korporasi-korporasi besar itu karena kita tahu persis efek dari kelakuan mereka. Dan semoga kita lebih baik dari mereka di depan Tuhan,” balasku menahan nafas.

Di lain waktu, kawanku yang lain menyelaku. “Dari perilaku kamu, sebenarnya aku telah tahu kalau kamu memang pantas begini. Soalnya, kita ngga jauh beda.”

Aku pun mengetatkan nyaliku dengan mendukung pernyataan barusan, “Sejak dulu hidupku tak pernah bisa ditebak. Bila memang Tuhan telah menggariskan hidupku dalam ketidakpastian, biarlah aku masuki semua hidup yang tak pasti itu sebagai dedikasi.”

***

Aku beruntung berada pada kisaran aktivitas bermacam tapi bernada sama, revolusi. Dedikasi yang meyakinkan diri untuk memilih jalan mendasar dan bertahan dengan itu daripada sekadar takluk di depan dominasi. Tentu dominasi yang zalim. Tentu dominasi yang tak pantas. Dan tentu dominasi yang tak memberi ruang pada kebersamaan sebagai manusia.

Senada keinginanku untuk tetap dimiliki, dengan semua inginku, yang berharap agar bisa tetap eksis di jalur revolusi. Revolusi atas nama Tuhan.

“Di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim. Dan di depan manusia, saya bukanlah seorang Muslim,” ucap Tan Malaka; semakin memampatkan hardikan gemerlap duniawiku.

Aku tersenyum. Bahkan hingga wafatnya, Tan Malaka tak pernah menikah. Seorang yang sangat dicintainya, dan memilih untuk menikah dengan orang lain, berkata, “Ia orang yang aneh.”

Rabu, 06 Agustus 2008

Miskin Itu Mesti Dimiliki


“Alaaah... bisa aja kamu. Wajar kalo kamu suka dia. Bajunya aja bagus-bagus.”

Aku lupa persisnya kapan kalimat itu mampir di telingaku. Seingatku, ia meniris habis kelebihsukaanku pada kadar yang begitu elitis. Kali itu, kawanku ini menggertak semua kebengalan argumenku atas penghargaan pada kemanusiaan dengan menampilkan wajah ketat; bahwa revolusi tak memberi ruang sedikit pun bagi kesenangan publik. Akan canggung diingat bila kemudian, tatanan besar hidup yang lebih baik itu bertebar dan bersanding dengan gaya kosmopolitku menikmati hidup. Memilih perempuan cantik, kaya, seksi, meski pro perubahan, semisal.

Kebingunganku wajar. Bahkan Natsir pun sempat meradang sewaktu seorang kawan bertanya padanya tentang keikutsertaannya pada Petisi 50. Beliau bilang, “Saya juga tidak tahu kalau kemudian semuanya akan seperti ini.” Ya, sebuah alasan yang sangat manusiawi.

Pada beberapa kesempatan, aku sempat berkilah, Rasulullah juga memilih Khadijah yang jelas terhormat nasabnya, juga kaya dan cantik. Meski kemudian aku berusaha melengkapi semuanya dengan ketangguhan Khadijah menemani Rasul untuk menyebarkan kebaikan di muka bumi.

Apalagi, selama ini pikiranku sangat strukturalis. Aku sangat bersemangat memisahkan atau mengklasifikasikan berbagai hal dengan perbedaan yang curam, termasuk kaya dan miskin. Itu sebabnya aku tak pernah nyaman berada di mall. Itu sebabnya aku tak pernah nyaman bersanding dengan perempuan seksi yang pro mode. Itu sebabnya aku tak mau makan di tempat-tempat mahal. Itu sebabnya aku tak berkeinginan punya mobil mewah atau rumah besar.

Ibuku pernah bilang, “Orang pinter itu ya pasti kaya.” Bisa jadi, bukan kaya dengan harta melimpah, tapi orang yang selalu bisa sedia uang bila ada yang membutuhkan. Sebab, dari dulu, ibuku juga sering bilang, “Jadi orang yang apa adanya aja.” Meski kadang, aku juga seperti dikejar sejuta renternir kalau beberapa hal tak aku penuhi, hanya karena uangku tak mencukupi kebutuhan.

Agak susah memang memosisikan diri di depan kekayaan. Aku ingat Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasul yang paling pandai berbisnis. Apa pun yang ia kerjakan pasti mendapatkan untung yang tak sedikit. Suatu ketika, ia pernah mengatakan bahwa ia sangat ketakutan bila ternyata semua nikmat Tuhan telah dilimpahkan kepadanya di dunia, sementara tak ada lagi sisanya di akhirat. Akhirnya ia pun tak henti-hentinya menghabiskan uangnya di jalan Tuhan. Menurutku, ia tepat memosisikan diri di depan kekayaan. Baginya uang memang tak sulit. Tapi baginya pula, uang adalah sumber kekhawatiran dia pada alam kekekalan kelak.

Aku merunut Hatta. Hingga wafatnya, ia tak kuasa membeli sepatu impiannya. Bukan karena tak mampu, tapi tak kuasa. Entah sama atau tidak, bagiku menampakkan keberlebihan pada tetangga yang kekurangan jelas mengingkari kemanusiaan. Aku pernah bilang pada seorang kawan, “Kalau saja rumah kamu kelak besar, sementara ada satu rumah reot di kompleks kamu, aku ngga bakal hormat padamu hingga tetanggamu itu berkecukupan.”

Kadang, aku merinding juga pada apa yang aku pikir dan inginkan tentang kaya dan miskin. Kadang aku sesak napas kalau berkerumun bersama mereka di hotel-hotel mewah. Kadang aku meringis saat beberapa bagian hidupku ternyata juga berperilaku sama.

Dulu, aku marah pada negara. Dalam Essay in Trespassing: Economics to Politics and Beyond, Albert Hirschman menulis tentang ‘persekutuan yang aneh’ atau ‘persekutuan yang tak suci’ antara pemikiran ekonomi neo-klasik dan ekonomi neo-marxis. Bagi neo-klasik, negara merintangi kekuatan pasar untuk bekerja. Dan bagi neo-marxis negara dianggap sebagai sekutu perusahaan multinasional dan modal lokal atau kaum komprador. Aku lebih nyaman dikategorikan pada kelompok neo-marxis.

Dulu, aku berpikir, keadaan miskin itu karena timpangnya distribusi pendapatan. Ada uang yang menumpuk di satu tempat. Dan ada banyak pihak yang kekurangan, karena secara struktural, uang yang menumpuk itu tak pernah disalurkan pada mereka yang kekurangan. Ternyata, ada yang lebih baru. Distribusi tak hanya tentang membagikan uang, tapi juga tentang pembagian uang dengan seni dan manajemen. Artinya, uang itu sampai dengan kerja keras. Uang itu sampai tidak dengan meminta-minta. Kesimpulannya, pemberdayaan lebih penting daripada distribusi pendapatan.

Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi 1998, menjelaskan kebuntuan pikirku. Sen mengatakan, kemiskinan harus dipandang dalam konsep kapabilitas. Kapabilitas merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang.

Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.

Pikiran-pikiran ini aku komposisikan dari tulisan Chatib Basri saat melepas perginya Sjahrir, seorang ekonom pro pasar yang setuju peran negara dalam mengatur kebutuhan pokok, untuk selama-lamanya. Sjahrir eksponen Malari. Ia sangat dekat dengan mahasiswa. Tapi ia tetap sosok yang tak bisa dijelaskan. Ia paradoks tapi terlalu bersahaja bila harus disalahkan cara berpikirnya. Pro rakyat yang tak kuasa meregulasi pasar.

Aku sempat bertanya pada beberapa orang yang aku anggap mengerti, “Aku ngga habis pikir. Mengapa bisa begitu? Aku ngga percaya kalo semua itu cuma cuci otak.” Tapi semua jawaban itu tak memuaskan. Sepersis pertanyaanku tentang Cak Nur yang kemudian merestui Nadia Madjid untuk menikahi seorang Yahudi. Hingga kini, aku belum bisa berkesimpulan, apakah diperbolehkan seorang Muslim menikahi seorang Kristen, Katolik, dan Yahudi; anak turun Ibrahim.

Tapi yang paling penting, semua pemikir yang aku kutip ini sangat resah pada kemiskinan. Cara mereka memang tak seragam, tapi spirit mereka untuk menyelesaikan persoalan ini dari waktu ke waktu sangat mengesimakan.

Dan aku hanya tahu satu hal. Bahwa seberapa pun rumitnya kemiskinan... aku hanya perlu merasa memilikinya. Itu saja.

“Pengen denger apa yang aku pikirin tentang semua ini?” tanyaku pada seorang kawan.

“Apa?”

“Distribusi teknologi informasi untuk pemberdayaan masyarakat lokal ini harus berujung pada sistem baku. Kalau sudah jadi, kita akan distribusikan ke semua tempat yang memerlukan di Indonesia. Berarti bisa jadi kita akan keluar masuk hutan.”

“Wah, aku seneng kalo babat alas.”

Lha Juminten piye?”

Kawanku tersenyum masygul.

Rabu, 06 Agustus 2008

15.13 WIB

Minggu, 20 Juli 2008

Belum Tentu


Selintas yang dibisa, telah fitrahnya bila siapa pun akan mementingkan karsa diri bertarung untuk, setidaknya bertahan hidup. Aku sulit berbantah bila kemudian seseorang dilahirkan serbakurang. Barangkali, masalah seriusnya justru pada semakin sempurnanya dalih mereka atas keserbakurangan itu. Trenyuh juga saat premisnya, sudah miskin, tidak pernah bersyukur... eh, merepotkan orang lain pula. Aku terpaksa bersemangat mengkritisi kealpaan itu. Seharusnya, bila dunia tak terlalu ‘merestuinya’, setidaknya ia sanggup terbang melewati dunia dan sekuat tenaga menertawakan semua ini, pertanda ia tak pernah ‘takut hidup’.

Aku sama sekali tak canggung untuk membebasmaksumkan kebuntuan ini. Sudah semestinya perubahan itu jadi subjek, bukan lagi si pengawal perubahan. Berliku hidup yang mengikutsertakan kekhawatiran kompleks itu kan perkara keberserahan diri, entah pre atau post factum. Inilah cikal bakal keberanian. Serumus dengan Tuhan yang tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Mana mungkin Tuhan berkepentingan mempermainkan ciptaan-Nya; dan puas melihat hamba-Nya kebingungan? Ya, terlalu antroposentris. Terlalu kemanusiawian.

Keliaran apa pun tentu sah untuk membangun prasangka ningrat tentang hidup yang akan selalu lebih baik, ketimbang hawa keterlaluan yang keterusan didengungkan seperti dunia memang tak layak huni. Ini mentalitas wajar; bukan ketangguhan yang disengaja. Geli juga kalau kemudian ada keinginan untuk mengetengahkan semua kewajaran itu sebagai keberlebihan. Sebab, itu justru sangat berlebihan dan melebih-lebihkan.

Semisal menjawab propaganda instan tentang kaya dan miskin yang selalu berbenturan. Bukankah miskin ada karena ada sebutan kaya? Artinya, kaya dan miskin itu memang keniscayaan. Ia diciptakan sebagai bagian hidup manusia. Ia hadir bukan untuk dijadikan amunisi menegasikan Tuhan, tapi justru untuk memberi ruang pada ‘kewajaran’ termaksud lantaran memang tak akan mungkin ada kaya bila tak ada miskin. Penghancuran salah satunya justru melawan sunatullah. Dan itu sangat tidak mungkin. Sama seperti kecapan lidah asin untuk gula.

Bila kemudian ada tengarai tentang jahatnya si kaya atau zalimnya si miskin, tentu akan tersusul kebaikan mutakhir tentang perlunya saling mengingatkan. Sebab, bila tak segera diingatkan, sunatullah akan terlanggar. Bila sunatullah terlanggar, dunia akan hancur. Lebih jelasnya, proporsi yang tepat adalah keberadaan masing-masing yang tak melulu dipersoalkan, tentang siapa yang hendak atau perlu berkuasa. Sebab, sekali lagi, keduanya tidak untuk dipertentangkan; sama seperti jiwa dan raga.

Keteraturan ini tak hanya akan mewujud pada keberimbangan yang selalu utopis—lantaran justru menjadi ladang amal—tapi juga diskursus hikmah yang tak akan berkesudahan tentang hidup yang selalu berjejal keraguan. Itu sebabnya ada konsep iman. Iman ada bukan untuk melengkapi khazanah keagamaan semata. Ia ada untuk memantik ketenangan hidup beriring keserbatidaksempurnaannya. Semakin tak kentara, dengan kekuatan yang penuh, keberserahan itu ada dengan sendirinya. Semua ragu dan keinginan merusak itu ada lantaran keberserahan yang tak pernah sampai.

Anggap saja ini bangunan persepi perunut kebuntuan hidup. Tapi ia sangat penting untuk menganjur diri bahwa inferior di depan segala kekurangan adalah keliru. Bermacam alasan atasnya hanya akan berlaku parsial bahkan temporer, lantaran ia akan bersinggungan dengan niscayanya hukum alam (sunatullah). Meski berbunuh sangka atas itu pun penghakiman yang tak perlu. Keterikatan ini untuk memanifestasikan tafsir ke-Maha-an Tuhan yang memang berbaur dengan kelobaan episteme makhluk kalkulatif bernama manusia.

Aku berhenti. Seorang kawan memberikan pandangan genuine-nya.

“Aku punya siswa cerdas. Dari rumah ke sekolah ia berjalan kaki. Ia berangkat setelah Subuh dan tak pernah sarapan. Setiap kali sampai, ia duduk sebentar di pos satpam. Ia seka keringatnya itu. Dan tak segan ia pulang malam hanya untuk menambah pelajaran yang aku minta. Kemampuan penerimaannya bagus. Ia bisa pecahkan kasus desain grafis hanya dalam hitungan menit. Bukan main. Yang unik, kalau ia ditagih buat lunasi SPP-nya yang nunggak berbulan-bulan, ia cuma tersenyum. Ia bilang, ibunya hamil lagi dan adik-adiknya masih kecil, juga banyak.”

Aku merasa semakin perlu untuk tidak canggung. Ya, tidak canggung untuk merintis mental bahwa kepapaan bukan faktor utama ketidakbersyukuran seorang hamba. Seseorang kufur bila beranggapan, dirinya tak bisa berbuat apa-apa di depan kenyataan. Bila ia takut mati, dan kini ia takut hidup; betapa mengerikannya hidup ini. Aku tak berani berbayang lanjut bila aku termasuk kalangan ini. Sebab, sekali lagi, hidup belum tentu seperti yang kedengarannya atau yang sering dibicarakan orang. Belum tentu semua itu bisa ditentukan segampang itu... atau sesulit itu.

Cikupa, 22 Juni 2008

18.50 WIB

*Untuk seorang kawan yang yakin bahwa perubahan radikal selalu diawali dengan pendidikan. Bagiku, idealisme selalu diawali dengan kenekatan membuat sekolah; bagaimanapun keadaannya.

Selasa, 01 Juli 2008

(EKSTRA) PARLEMEN ALTRUIS

Bila aku dan Hatta terhalang memimpin revolusi, saudara Tan Malaka melanjutkannya.

Soekarno, September 1945

Sebulan pasca Proklamasi....

Republik tengah sakit parah. Proklamasi yang telah dikumandangkan berbuah penolakan keras pihak penjajah Jepang. Ketika itu, hanya revolusilah yang bisa menyembuhkannya.

Adalah Tan Malaka, pria kelahiran 2 Juni 1897 di Sumatera Barat bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia dianggap sebagai sosok yang sangat mengerti situasi, hingga Soekarno menempatkannya sebagai suksesor pengemban amanat revolusi. Dahulu, dia yang pertama kali mencetuskan kata ‘Republik Indonesia’ dan mengucapkan kata ‘Indonesia Merdeka 100%’ tanpa kompromi. Saat keadaan genting, terlontarlah kalimat di atas.

Lihatlah! Yang menarik tentu adalah ‘cara’ para pendiri republik ini bersama untuk menghalau penjajah. Soekarno sangat disegani karena ‘caranya’ berdiplomasi; penyambung lidah rakyat. Hatta sangat disungkani lantaran ‘caranya’ membela inlander yang tak tanggung-tanggung; Bapak Koperasi. Tindak-tanduk Tan Malaka bahkan sangat dikhawatirkan petinggi komunis dunia sejak Vladimir Lenin hingga Mao Tse Tung karena ‘caranya’ bergerak di komintern (komunisme internasional).

Ketiganya punya pendukung loyal. Ketiganya punya pemahaman dan kepandaian berbeda atas penderitaan rakyat. Perkara di akhir cerita, Soekarno berbeda dengan Hatta, atau Tan Malaka yang tak benar-benar diterima itu hal lain. Tapi mereka jelas punya ‘cara’ sama untuk menggelar revolusi kemerdekaan.


Gerakan Mahasiswa Pasca-1998

Lantas bagaimana dengan gerakan mahasiswa hari ini?

Pasca-1998, gerakan mahasiswa praktis mengalami penurunan tensi gerakan. Dari hari ke hari, kondisi ini semakin mengkhawatirkan saja. Sempat memanas pada gerakan penurunan Mega-Haz pada akhir 2002, gerakan mahasiswa kemudian kembali lesu setelah rakyat tak lagi tertarik isu penurunan presiden; seperti tahun 1998. Bila menjelang Pemilu 2009 mendatang, gerakan mahasiswa tetap belum mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu komunitas kritis pengawal perubahan republik ini, tentu ini tragedi besar.

Selain karena faktor internal gerakan, yakni masih belum mampunya berbagai elemen dalam memproduksi isu-isu populis seputar keberpihakan mahasiswa pada masyarakat secara luas, opini masyarakat tentang gerakan mahasiswa yang destruktif adalah fakta yang semakin menyudutkan keabsahan independensi mahasiswa di depan publik.

Karena masyarakat telah mulai tidak senang terhadap semua anarkisme dan euforia yang lahir dari interpretasi salah atas demokrasi, kecenderungan yang ada pun menunjuk pada stigmasi bahwa mahasiswa destruktif sangatlah tidak berguna. Sepertinya, kondisi objektif terang-terang tak lagi mendukung semua hal berbau mahasiswa. Tengok saja pemberitaan media massa yang lebih memilih ekspose tentang bakar ban atau kemacetan jalan akibat demonstrasi; bukannya isu yang mereka usung.

Minimnya aktivitas gerakan mahasiswa dalam melakukan kontrol terhadap semua kebijakan publik belakangan ini juga dilandasi oleh alasan yang sangat oportunistis. Mereka kesulitan menemukan format tegas gerakan lantaran beban status moral yang terus didengung-dengungkan oleh senior atau dosen sejarah mereka. Belum lagi isu kolosal tentang mahasiswa yang belum jelas masa depannya ketika lulus. Atau mahasiswa yang sering ditunggangi elite. Atau mahasiswa yang tugasnya hanya sekolah. Atau mahasiswa yang mending pacaran. Atau mahasiswa yang seharusnya riset saja tanpa kritisme terhadap sosial.

Fakta tentang konsentrasi agenda gerakan yang lebih didominasi oleh aktivitas personal bersifat individualistis menggejala kuat dengan mangkirnya berbagai aktivis mahasiswa dari agenda internal organisasi kemahasiswaan seperti perkaderan, advokasi, dan juga pemberdayaan publik. Ketika kritisisme dituntut untuk ada, kader-kader pilihan—bahkan terbaik—mereka lebih memilih untuk menjibakui kepentingan individu. Ada seloroh klasik, “Mikir diri sendiri aja belum bisa, kok berani-beraninya mikir bangsa. Presiden aja belum tentu bisa.”

Susah juga saat menyandang status mahasiswa tapi tak dapat mencetak sejarah besar. Namun ternyata tidak setiap zaman melahirkan kepemimpinan mahasiswa nyata, dalam arti perlawanan terhadap mainstream baik itu negara, modal, atau asing. Ada saat mahasiswa hanya di kampus, karena tak lagi direstui kondisi. Apalagi, kepala mahasiswa memang tak secepat kakinya. Praktis, semua hal tampak menjadi absurd dengan slogan-slogan membingungkan seperti agen perubahan, agen kontrol sosial, atau generasi penerus bangsa, dan seabrek identitas moral fantastis pemberian sejarah yang bisa jadi tidak lagi disandangnya.

Jadi, pasca gerakan reformasi 1998, ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, mahasiswa kesulitan mengawal enam visi reformasi. Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati memang disibukkan dengan gerakan mahasiswa yang menuntut penurunan presiden. Namun, setelah SBY-Kalla berkuasa, kritisme model ini tidak lagi menemui pasarnya. Publik tak lagi bersimpati dengan isu-isu serupa lantaran dikhawatirkan destruktif ketimbang menghasilkan solusi menjanjikan. Hasilnya, mahasiswa pun kesulitan menegakkan eksistensinya di mata publik.

Kedua, kampus-kampus excellent seperti UI, UGM, Unair, atau ITB didominasi oleh KAMMI, menggantikan HMI yang dulu dianggap beberapa kalangan sangat dekat dengan elite penguasa Orde Baru dan merestui kukuhnya kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun. Seperti diketahui, karena KAMMI adalah ormawa eksternal yang didesain untuk mengkover kaderisasi PKS di kampus, gerakan mereka lama-kelamaan mulai mengkristal mirip parpol. Padahal, umumnya, gerakan mahasiswa adalah gerakan ekstraparlemen yang tak akan mungkin bersekutu dengan parpol. Keberhasilan KAMMI mengubah konstelasi tentang mahasiswa yang bisa saja berparpol. Efeknya, bila mahasiswa tertarik berpartai, tentu nasib gerakan mahasiswa sebagai kelompok penekan akan menemui pola baru.

Ketiga, pasar bebas diberlakukan di Indonesia menggantikan kapitalisme negara Orde Baru. Kompetisi global akhirnya membaiat gaya-gaya neo-liberalisme seperti privatisasi, penghilangan batas-batas negara, dan berkuasanya informasi. SDM Indonesia, terutama mahasiswa, kesulitan beradaptasi dengan tren ini. Para mahasiswa pun tak lagi tertarik membicarakan gerakan mahasiswa, lantaran seperti tak berkaitan erat dengan masa depan mereka kelak. Rata-rata dari mereka berpikiran cepat lulus agar biaya pendidikan mereka tidak terus membengkak, sementara tak ada jaminan dari kampus tempat mereka belajar pada pekerjaan yang layak setelah lulus.


Gerakan Mahasiswa Menjelang Pemilu 2009

Beberapa hal dapat direkomendasikan untuk berhadapan dengan Pemilu 2009. Pertama, keinginan diri untuk tidak pernah berhenti belajar. Setiap kali realitas bergerak lebih cepat dari kemampuan analisis, harus pula segera diimbangi dengan proses cari tahu yang lebih gila-gilaan. Tanpa ini, adaptasi yang kurang akan melahirkan keinferioran peran yang justru kontraproduktif dan melahirkan fanatisme karena ketidakmampuan. Ilmu yang cukup akan melahirkan perhitungan langkah yang strategis hingga kemudian berani untuk berkompetisi. Sebab, lemahnya analisis akan semakin meminderkan gerakan, bahkan membangun fanatisme yang bisa jadi malahan destruktif.

Kedua, membangun kelompok-kelompok diskusi berikut silabus khusus pengembangan diri. Transformasi ideologis akan dapat dilangsungkan dan lahirlah komunitas kecil yang ideologis. Forum-forum kecil seperti ini dapat diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa, baik intelektual maupun spiritual.

Ketiga, membuat akses strategis dengan melibatkan seluruh stakeholder gerakan seperti rakyat, kampus, pakar, tentara, polisi, politikus, kalau perlu negara asing. Seperti diketahui, fasilitas teknologi informasi dan komunikasi era ini sudah sangat memadai untuk membangun gerakan kultural, hingga politis. Koneksi ini tentu tidak untuk mengkhianati gerakan, tapi untuk menakar realitas kekinian yang tengah bergerak dan berujung pada perubahan sosial. Seringnya, membangun akses dianggap sebagai bersekutu atau keluar dari koridor moral gerakan.

Keempat, memiliki tren masyarakat informasi. Maksudnya, mahasiswa harus sadar pentingnya informasi, bagaimana mendapatkannya, bagaimana mengolahnya, dan bagaimana menggunakannya. Kemampuan berbahasa dan memahami teknologi tentu sangat dituntut untuk mencapai target ini. Sebab, gerakan yang tak up to date tidak akan direspons kondisi.

Kelima, memproduksi isu. Kemampuan mendesain isu dengan pembangunan opini dan pencitraan gerakan membutuhkan perencanaan dan kepekaan yang matang. Di sana harus ada kebutuhan rakyat, visi kebangsaan, dan cita-cita universal. Tanpa ini, isu yang diusung gerakan mahasiswa justru dianggap corong atau kepanjangan tangan pihak-pihak yang berkuasa.

Keenam, konsolidasi dan refleksi. Membangun kepercayaan terhadap kemunitas sangatlah penting. Untuk membangun tren yang begitu kompleks medannya, dibutuhkan dukungan berbagai pihak. Selain itu, evaluasi gerakan harus dilakukan untuk memonitor spirit dan perencanaan.

Ketujuh, komitmen dan konsisten pada semua yang telah diyakini dan direncanakan. Mulailah berusaha keras mematuhi hasil-hasil rapat kerja, tepat waktu dalam setiap event, bertanggung jawab pada semua hal. Bila persoalan pribadi seperti keseringan bangun siang, buang sampah sembarangan, malas bersih-bersih, atau sekadar malas tersenyum pada orang lain masih sangat merepotkan bagi aktor-aktor gerakan mahasiswa maka untuk mewujudkan civil society yang diridhai oleh Allah Swt. adalah pekerjaan yang sulit. Bangunan publik yang bermartabat harus diawali dengan integritas moral mahasiswa agar tak paradoks dan dapat bertahan lama.

Jangan Lupakan Ideologi

Kalau organisasi tak menghasilkan uang, mengapa harus ribut berpindah dari rapat ke rapat? Bila gerakan mahasiswa hanya menghabiskan waktu untuk berkumpul tanpa ada upaya membangun identitas diri, mengapa mesti nekat begadang hanya untuk lembur kepanitiaan? Andai kampus yang punya akses saja tak dapat menjamin masa depan, mengapa organisasi mahasiswa harus dibela mati-matian?

Sempurna. Sepertinya, gerakan mahasiswa layak dianggap bukan prioritas, lantaran tidak menghasilkan materi atau jaminan masa depan. Nah, dapatkah gerakan mahasiswa bertahan?

Lebih jauh, sebenarnya identitas diri jelas bukan perkara fisik. Meski ia akan memobilisasi fisik untuk beraktivitas, identitas lahir dari cara pandang tentang sesuatu. Cara pandang tersebut dapat disebut dengan nilai, ideologi, atau cita-cita keadilan dunia, dan setiap orang pasti memilikinya.

Mendudukkan nilai sebagai pilihan kedua setelah produk gerakan atau organisasi tentu adalah kesalahan. Sebab, bila hanya mempertaruhkan produk tanpa basis nilai yang cukup, ia tidak akan bertahan lama. FPI tak akan gagah berani membersihkan tempat-tempat maksiat bila tanpa pemahaman penting seputar nahi mungkar yang berbuah surga, sementara dalam satu waktu mereka harus berhadapan dengan kelompok yang mereka musuhi sekaligus polisi negara. Mahasiswa-mahasiswa kiri tak akan seberani itu menuntut nasionalisasi aset negara kalau tak ada doktrin tentang dominasi modal global yang semakin menyengsarakan rakyat. Perempuan-perempuan ber-fashion kosmopolit tak akan berpikir untuk berdandan sensual kalau tak meyakini bahwa seksi itu reputasi.

Artinya, tanpa ideologi atau basis nilai yang memadai, gerakan mahasiswa hanya akan menghabiskan waktu, melupakan masa depan, serta tak bergerak di wilayah strategis. Sedangkan untuk mencapai ideologisasi diperlukan proses transformasi yang kontinu dan berdasar pada kekuatan nilai yang komprehensif.


Epilog

Terkadang, mahasiswa dapat bersatu lantaran alasan moral yang sama, seperti perlawanan terhadap rezim represif, memerangi ketidakadilan, atau membela kaum tertindas. Terkadang, mahasiswa juga terkotak-kotak, tergantung perspektif kelembagaan mereka. Hal ini wajar mengingat kebijakan masing-masing organ yang memang independen. Artinya, meski berbeda, spirit kemahasiswaan mereka tetaplah terjaga sebagai bentuk perwakilan gerakan kaum muda yang tak menyetujui ketimpangan sistem sosial.

Saat Soeharto hendak digulingkan, semua elemen mahasiswa bernaung pada gerakan reformasi dengan isu yang sama. Ketika Soeharto dapat digulingkan, mahasiswa berbeda pendapat tentang Sidang Istimewa MPR untuk melanjutkan kepemimpinan negara. Pada waktu reformasi berhasil digulirkan, mahasiswa bahkan kembali pada perjuangan masing-masing atas kebijakan internal mereka; bukan lagi terorganisasi solid seperti sebelumnya.

Untuk itu, model gerakan mahasiswa memang harus berbasis pada independensi etis dan organisatoris. Maksudnya, ia bergumul atas karsa kebenaran universal (etis) dan bergerak pada wilayah oposisi (organisasi). Sementara itu, untuk bergerak, mereka mesti memosisikan organisasi pada ranahnya, yakni oposisi; bukan politik praktis mirip parpol; bukan advokasi murni mirip LSM; bukan orientasi bisnis mirip korporasi; bukan akademis murni mirip sekolahan. Semua wilayah itu dapat dirangkum dalam gerakan mahasiswa yang memosisikan mereka pada koridor belajar dan bergerak; bukan hanya bergerak atau belajar saja.

Gerakan mahasiswa juga harus plural dan inklusif. Ia akan dapat solid dan berkualitas bila menerima perbedaan dalam konteks saling mengisi, juga berpikiran terbuka sebagai bentuk kepercayaan sikap internal gerakan. Tanpa pluralitas dan inklusivitas, gerakan mahasiswa akan gampang dikibuli, ditunggangi, bahkan dikambing-hitamkan. Sebab, pada konstelasi perpolitikan, mahasiswa tetap sosok ranum yang selalu diperebutkan penguasa, stakeholders politik, tentara, bahkan CIA atau Mossad Israel.

Konsolidasi di tataran ormawa baik internal maupun eksternal kampus semestinya dijaga untuk membangun ritme gerakan yang bisa jadi tidak semulus di atas kertas. Kecurigaan pada organ-organ tertentu dapat dijembatani dengan membangun relasi positif; bukan malah saling merusak atau bersaing negatif. Sebab, komitmen gerakan mahasiswa tetaplah sama, yakni penjaga moralitas bangsa dan perwujudan masyarakat yang bermartabat.

Pemilu 2009 tinggal sebentar lagi. Kepemimpinan nasional akan sangat ditentukan oleh momentum ini. Bisa jadi, jual beli gerakan akan sangat dominan, tapi idealisme tentu tak akan lekang sampai kapan pun. Sebab, tak semua hal dapat dibeli.

Biarlah semua hal terjadi. Untuk kritis dan bergerak, bukan berarti mahasiswa tak dapat menikmati kesehariannya sebagai sosok manusiawi yang butuh dimengerti, anak rumahan yang berbakti, atau mungkin, musisi yang berbakat. Ya, menjadi gerakan ekstraparlemen altruis; pembela rakyat.