Kamis, 18 Desember 2008

2008


HP-ku berderit. Sebuah nomor asing terpampang di layarnya. Ternyata, Deny Mulya Barus, seorang kawan lama yang kini jadi reporter Majalah Gatra. Dulu, dia sempat mengenyam kaderisasi HMI Sukoharjo Komisariat Ahmad Dahlan I. Ia kemudian memutuskan untuk ‘moncer’ di IMM Sukoharjo plus Persma FAI, Islamika.

Setelah saling sungkan, ia bertutur kesan tentang pilihan aktivitasku sekarang. “Wah, sekarang bisa jadi pro ya? Dulu kan anti?” Pertanyaan sederhana yang menukikkan kesalehanku di masa lalu, barangkali.

Aku terbahak seadanya. Bukan soal kalimat barusan. Apalagi, kalimat serupa telah sering aku dengar setahun ini. Aku tertawa untuk netralisasi suasana, bahwa semua tetap seperti dulu. Ya, saat visi kemahasiswaan diretas untuk Indonesia yang lebih baik. Saat visi media bersanding dengan perubahan, berkelindan dengan keperkasaan modal yang sulit dipongahi. Aku dan Deny sempat mempelajarinya bersama.

Aku tertawa untuk kesan yang sebenarnya, meresahkanku. Resah bukan lantaran aku merasa tengah berada di jalan yang salah. Tapi resah karena barangkali, ada fatwa laten, tentang aku yang seharusnya tak seperti sekarang. Ya, aku merasa, banyak kawan yang berbaik hati meluangkan karsa untuk hidupku, yang ‘seharusnya’ tak di tempatku ini.

Selontar kalimat aku feed back-kan agar suasana berimbang. “Gaya bicara kamu udah mirip diplomasi media, Den. Udah ngga gaya politikus lagi seperti dulu.”

Dan tawa membuncah renyah.

Benar, ada apa denganku setahun ini? Aku sering menanyakannya, serius. Mengapa aku tak sanggup lagi menulis buku untuk kemaslahatan (bangsa), semisal? Aku punya Salmanism (2002), Ecoideanomics (2003), HMI Makkiyah (2004), Born to Be Free (2005), Beyond Growl (2006), Bertaruh Citra Dakwah (2007). Aku tak punya apa-apa di 2008.

Apa yang aku dapat dari Jakarta setahun ini? Aku seakan tergopoh untuk reposisi bangsa yang semakin sulit. Jakarta mengajarkanku untuk semakin yakin bahwa semua konstelasi yang terjadi adalah ciptaan. Ya, by design. HMI Sukoharjo mengenyalkan benakku untuk membangun prasangka, lantaran ada khazanah postmodernisme seputar simulasi dan simulacra. Persma Pabelan mendedahkan professional skepticism pada runutan jurnalisme investigasi. Wajar kalau kemudian aku semakin yakin, banyak rencana operasi yang telah berhasil mengacak-acak negeri ini, tapi aku tak tahu banyak. Sisanya, akan semakin bertambah banyak.

Semua operasi itu jelas untuk mengamankan modal besar. Sejauh yang aku tahu, untuk berkompetisi dengan modal, hanya bisa dilakukan dengan modal atau mungkin… jaringan. Dan aku membahasakan jaringan itu sangat sederhana. Ya, apalagi kalau bukan… kebersamaan.