Kamis, 28 Agustus 2008

REVALAGUE-Revolusi Ala Gue


Ideologi terasa usang setelah tesis Huntington seperti membelah kesumat kaum anti-Barat yang ‘seperti’ anti-kapitalisme. Sebab nyatanya, hari ini, kapitalisme justru berkolaborasi dengan globalisasi bertajuk kapitalisme global. Ia bahkan mirip senyawa yang terus beranak-pinak, dan membingungkan oposan-oposan sejatinya. Lihatlah, kapitalisme global ternyata menyimpan nafsu neoliberalisme yang sarat pragmatisme, individualisme, dan hedonisme. Isme ikutan yang kemudian turut nangkring dalam chart komunalisasi isme tak berujung itu melahirkan sekularisme, humanisme, dan pluralisme.

Lebih dalam, Thomas Kuhn memilih diksi ‘paradigma’ untuk menggantikan ideologi; genre baru adukan bermacam isme bernada ekletik yang membangun komposisi cita-cita ideal, dunia yang lebih baik. Publik yang semakin tak peduli pada isme, dan memilih sebentuk apa pun asal menyejahterakan, semakin membuat diskursus tentang ideologi menyusut drastis.

Meski beberapa negara masih yakin pada dua isme besar, kapitalisme dan sosialisme, tapi secara umum gejala menipis dan memudarnya ideologi semakin tampak pada realitas bernegara saat ini. Pada Musda HMI Jateng-DIY terakhir di Balai Kota Solo, Anas Urbaningrum mengutip pernyataan Menlu RRC ketika berkunjung ke Indonesia, “Menurut kami, ada kekuatan pasar yang bergerak dan sulit untuk kami lawan. (Ia sedang mendukung kapitalisme global. Padahal, Cina jelas-jelas komunis yang anti-kapitalisme) Kami tidak peduli apa nama sistem ekonomi kami… yang penting, rakyat kami bisa sejahtera.” Anas mengingatkan bahwa kapitalisme, sosialisme, atau apa pun namanya tidaklah terlalu penting. Dan hal yang paling penting adalah kemakmuran bangsa.

Ia juga mengatakan bahwa ada beberapa faktor kunci pembentuk kecenderungan dan kebijakan di negeri ini secara berurutan, yaitu ekonomi, kepemimpinan, budaya, birokrasi, dan agama. Betapa Anas memang khawatir terhadap nalar komunitas HMI yang terlalu haus kekuasaan. Sebab, baginya, ternyata, uanglah yang mendominasi negeri ini. Setelah itu, baru figur pemimpin, tatanan sosial, kemudian kekuasaan. Agama, secara nyata, hanya ditempatkan pada akhir analisis. Entah di posisi mana Anas menempatkan ideologi?

Pada 1999 silam, kepada kader-kader HMI Cabang Sukoharjo sewaktu berkunjung ke sekretariat pasca membuka Ospek UMS, ia berfatwa, “HMI tidak usah masuk ke dalam perdebatan soal gerakan kiri atau kanan. Yang penting dilakukan oleh HMI adalah mengembangkan kritisisme dan reproduksi intelektual.”

Lengkap sudah. Bahkan mungkin, bila ada diskusi tentang matinya ideologi sekalipun, tak akan banyak orang yang peduli.

Sebuah kalimat penting Cak Nur pun terngiang, “Kebenaran tidak akan bertentangan dengan sunatullah.” Artinya, bila ideologi bertentangan dengan sunatullah, ia akan hancur dengan sendirinya. Seperti diketahui, Cak Nur juga memberi tesis penting tentang Islam yang berbeda dengan islamisme. Ya, Islam tidak sama dengan ideologi Islam atau islamisme. Pada konteks ini, Islam akan menginspirasi lahirnya berlaksa-laksa ideologi, untuk kehidupan yang lebih baik. Artinya, ideologi hanya sejenis buah pikir, yang bisa saja terus diperbarui agar kontekstual. Ideologi tetap masih ada bila terus dikreasikan, dan… tak bertentangan dengan sunatullah.

Inisiasi

Beberapa waktu yang lalu, seorang kabid PTK/P Komisariat Umar bin Khathab (HMI Sukoharjo) berdiskusi banyak bersamaku. Ia hendak membangun cluster pertanian, dari pembenihan hingga market. Sederhana saja, ia bilang padaku, “Petani kita perlu eksis.” Yang menarik, dia bukan tipe based on state. Dia bukan tipe kader HMI yang tak bisa bergerak bila tanpa back-up sistem besar. Ia hadir tanpa peran negara, perusahaan, atau dana-dana sumbangan. Ia memutuskan untuk merangkul beberapa kawan, dan menyiapkannya, swadaya.

Ia bolak-balik Sleman, Solo, dan beberapa tempat di Jawa Timur untuk belajar dan menggelar simulasi pertanian, yang menurutnya menyenangkan. Ia tak hambar mimik saat membekap semua teorisasi tentang kemandirian, yang tak komplit, hanya karena sang teoretikus yang belum bergabung. Sebentuk kekurangcerdasan menyeimbangkan semuanya; keluarga, modal, menikah, dan mungkin... mengabdi.

Sejenak, aku mulai berkernyit pikir. Barangkali karena ia belum menikah, hingga ia tak sepusing kawan-kawan berstatus menikah. Ia juga baru hendak lulus, yang mungkin bisa dianggap belum berpengalaman. Atau yang paling nyinyir, banyak orang akan menilai, “Ia terlalu bersemangat.”

Apa pun, aku merasa perlu untuk memberitahukan pada khalayak tentang gejala baru yang barangkali bisa direspons positif. Untuk sebuah cita-cita tentang hari yang lebih baik. Aku tergiur bukan lantaran semangatnya, tapi karena sejak awal... ia berhasil mengetengahkan aktivitas pemadu kepentingan diri dan hajat hidup orang banyak.

Dulu, aku pernah bicara banyak pada salah seorang kawan tentang kemandirian rakyat. Sebuah diskursus rumit lantaran korporasi besar sering tak memberikan pilihan. Ada kesepakatan yang belum final tentang kemandirian dan pendidikan untuk masyarakat yang sedikit terumus, meski kemudian... hingga hari ini, semua masih saja di benak.

Aku pernah agak beralis tinggi sewaktu salah dua kawan menawarkan kewirausahaan. Bagiku, bila tanpa pemahaman keyakinan akan perlunya distribusi pendapatan, meski di beberapa hal ada tawaran pemberdayaan, ini akan menjadi akumulasi modal baru. Dan sejauh yang aku pikir, ini mengerikan.

Aku juga sempat bergerilia pilihan saat salah tiga kawan hendak menjadi pencari bakat bagi sekolah-sekolah asing di sekitaran Jakarta, yang menurutku, hanya melanggengkan dominasi modal dan korporasi besar.

Dialektika

Sebelum bicara lebih jauh, ada problem yang sering menjadi ikutan inisiasi. Aku menyebutnya, perilaku altruis yang jumawa. Altruis karena selalu berurusan dengan hajat hidup orang banyak. Menyelesaikan persoalan, salah satunya. Jumawa karena serasa sendiri hadir dalam semua aktivitas altruis itu.

Aku kutip sedikit tesis Madilog karya Tan Malaka bahwa masyarakatlah yang menentukan ide, bukan ide yang menentukan masyarakat. Problemnya bukan pada apakah ide atau aksi yang perlu didahulukan, karena keduanya diciptakan Allah Swt. berpasangan; tapi pada pemberian porsi lebih pada eksistensi manusia sebagai makhluk-Nya. Artinya, jelas bukan pada tempatnya bila ada yang merasa bahwa kedatangan seseorang untuk mengubah keadaan adalah lebih signifikan ketimbang kesadaran massa-nya. Simpulan ini juga mengantitesis pernyataan nihilis, “Semua pembahasan tentang perubahan datang terlambat.” Karena, perubahan terjadi karena banyak sebab, bukan hanya gagasan, inisiasi, atau ketokohan.

Aku setuju sebutan epistemic community, meski dulu slogan ini dipakai Rizal Mallarangeng untuk mengawal Neoliberalisme di awal 90an, yang jelas sangat tidak aku setujui. Aku memilih pola ini karena perlu menyatukan semua profesi untuk kepentingan yang lebih besar (semirip proletar).

Jangan pula lupa memosisikan ‘pemberdayaan’ yang kelak akan membuat semua ini terjadi begitu saja dan wajar. Pemberdayaan untuk komunitas, juga publik yang akan diberdayakan. Sekali lagi bukan lagi pada seberapa besar atau seberapa kuat sebuah komunitas mempengaruhi komunitas lain. Sebab, perubahan tidak terjadi oleh satu atau dua orang, juga bukan satu atau dua gagasan.

Kalau pakai paradigma pembelaan, barangkali aku lebih memilih untuk tengah berpikir membela komunitas dengan gagasan bersama, dan kemudian dapat memberikan pembelaan pada masyarakat lebih luas. Meski sekali lagi, aku tidak percaya perubahan terjadi karena ada ‘perasaan membela’ dari pelaku perubahan.

Itu dialektika.

Ideologi

Setahuku, ideologi ada dua jenis. Pertama, ideologi dalam pengertian praksis. Ideologi jenis ini komplit, dari episteme hingga praksis. Semisal, komunisme. Makanya ia mensyaratkan borjuasi proletariat pada fase revolusi pertama, untuk kemudian sampai pada sosialisme. Kedua, ideologi dalam pengertian world view. Ada derivasi kontekstual nilai yang pernah dirumuskan seseorang pada ranah tempat penafsir tinggal. Misal, ada demokrasi maka lahirlah Demokrasi Pancasila. Ada Islam maka ada NDP HMI. (dari LK II Kudus oleh anditoaja.wordpress.com)

Ketidakadilan selalu menjadi garapan setiap ideologi. Selain ada tujuan, ideologi juga memiliki metode gerakan dan aksi. Aku memilih untuk menjelaskan duduk perkara ini pada persoalan-persoalan di sekitar kita, yang sangat aku mengerti validitasnya, atau bukan dari data yang sayup-sayup. Semisal, setiap tahun akan lahir lulusan kampus, yang kemudian harus tercerai berai, bahkan mungkin bermusuhan, hanya karena tak ada orientasi gerakan pascalulus. Ada yang bilang, semua butuh aktualisasi. Aku setuju. Tapi alangkah lebih baik bila kemudian, kata kunci penting selanjutnya adalah sinergisitas. Sinergi ada setelah komitmen. Meski mungkin, suatu saat kita perlu kirim orang kita untuk mengabdi ke Mossad Israel, Wall Street AS, atau Berkeley, agar kita benar-benar tahu kekuatan dunia. Meski tentu banyak tak disukai.

Misal yang lain, berapa banyak kawan kita yang kemudian merasa tak cukup mampu mandiri, hanya karena ia tak bisa memecahkan persoalan hidupnya? Ada yang bilang, “Semua orang susah. Jadi jangan bermanja-manja. Itu harus dilalui.” Aku setuju. Tapi aku tak setuju bila ini lantas membelah semua komitmen kemanusiaan yang bahkan kita sepakati sebagai harus adil.

Itu yang paling dekat. Hingga suatu saat, kita akan bergerak untuk jutaan kaum miskin dan dominasi kapital dan state yang sangat sulit dienyahkan, hanya karena banyak orang yang merasa tak punya pilihan lain.

Revalague

Aku sempat berbahak sangka sewaktu memilih kata REVALAGUE atau Revolusi Ala Gue. Tapi bukan itu hal pentingnya. Aku setuju kata Tan Malaka tentang revolusi yang tak hanya diinisiasi satu-dua orang besar atau satu-dua gagasan besar. Eksistensi, individuasi, rausyan fikr, kader profetik, atau yang paling jauh khalifatul fil ardh berguna untuk mendukung terjadinya perubahan kolosal yang dimaksud. Jadi revolusi tidak akan terjadi bila para pelakunya sendiri tidak bisa menangkap eskalasi dialektika yang ada. Simpelnya, bila aku masih merasa bahwa Revalague itu final, berarti aku tak paham sunatullah. Bahwa analisis yang lahir untuk perbaikan kondisi adalah semata untuk ‘menebak’ jalur dialektika yang aku maksud, bukan pemaksaan kehendak, apalagi interogasi.

Pertanian, perempuan, anak-anak, atau apa pun bisa menjadi subjek diskursus, tapi tidak untuk dimenangkan salah satunya. Nah, epistemic community sebagai pola gerakan tidak hanya diposisikan sebagai pola ideologi (yang telah komplit bila bersanding dengan tujuan dan petunjuk aksi), akan tetapi juga sebagai pola runutan menuju bangunan ideologi yang saat ini belum jadi.

Lahirnya ideologi berkonsekuensi pada sebutan pembuatnya, yaitu ideolog. Padahal, marxisme baru ada setelah Marx dikubur. Kalo kata Daniel Dakhidae, penulis Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, cendekiawan itu sebutan yang dilahirkan orang lain, bukan pendakuan. Walau nama ICMI mengantitesis ini. Pijakan tentang perlu lahirnya ideolog jelas bertentangan dengan dialektika. Jadi, aku tidak sedang menjadi ideolog, tapi aku masuk dalam epistemic community untuk menemukan pilihan juang, yang bisa saja dianggap ideologi.

Dari ketiga hal ini, ditambah ingin mencari format ‘adukan’, akan sulit mengatupkan semuanya pada sebutan yang hanya disebut ‘ideologi alternatif’. Lebih lanjut, nama tak perlu dikedepankan, hanya bila suatu saat, setelah sistem berpikirnya diketemukan, akan lebih baik bila disepakati saja. Jika agama punya surga, komunis punya sosialisme ilmiah, AS punya demokrasi dan welfare state, revalague tidak menyebut ini komitmen, atau supremasi (kaum strukturalis), atau kompensasi (pragmatis). Aku menyebutnya konsekuensi.

Sedikit pertanyaan yang bisa aku lontarkan. Akankah ada epistemic community untuk kemudian menggagas produk juang yang integral, lantas bermuara pada peran kemasyarakatan signifikan?

Pun saat ada yang bertanya, “Mas dan Mba, ada pekerjaan buat saya, ngga?” bukan berbalas, “Hidup itu ya harus berusaha. Jangan kebiasaan meminta-minta.”

Menurutku, itu berlebihan. Wallahu a’lam bi shawab.

Senin, 25 Agustus 2008

Fathul, Budi, dan Revolusi

BANDUL waktu menunjuk bulan November 2000….

Malam beranjak larut. Bagi beberapa gelintir mahasiswa di sebuah kos-kosan dengan plakat kecil bertuliskan HMI Cabang Sukoharjo Komisariat Salman Al-Farisi UMS, tanda-tanda kehidupan justru baru tampak. Letaknya yang di pinggir sawah dan sungai, agak jauh dari permukiman, memberikan kenyamanan agak berbeda, lantaran tak akan menyinggung masyarakat bila pun harus menggebrak meja, berteriak marah, atau sekadar menggelar konser terbatas semalaman dengan harmonisasi dua gitar plus satu ember plastik.

Makhluk yang berdatangan ke tempat ini juga tak jelas rupanya. Suatu ketika, seorang kumal datang mengetengahkan kegalauannya tentang bangsa. Pada kali yang lain seorang klimis mendedahkan filsafat sebagai tanda kepungkasan pikirnya menyelesaikan satu buku. Pada waktu yang berbeda, seorang berkaca mata dengan wajah tirus tak terurus girang bukan kepalang hanya karena bisa menjadi panitia Ospek.

Tak ayal, dalam satu waktu, terkadang, tempat ini lebih mirip Pasar Kleco Solo yang bising di awal hari, dengan komoditas jual yang agak berbeda; retorika. Belum lagi, tiba-tiba ada yang terkesiap drastis hanya karena esok pagi akan digelar ujian. Momentum penting bagi semua mahasiswa, tapi senyap bagi komunitas ini. Sebuah teladan buruk.

“Fathul, menurut elo, revolusi itu bisa terjadi di Indonesia, ngga?” pertanyaan penting mengawali perhelatan pikir malam ini.

Pelontar pertanyaan ini berkaca mata agak tebal, berambut semi keriting, dan sekutu rokok yang loyal bernama Budi Gunawan Sutomo. Ia Kabid PPA Komisariat Ahmad Dahlan I; komisariat pertama di HMI Sukoharjo. (Kelak, ia masuk jajaran Staf Ketua HMI Badko Jateng-DIY) Budi memang terhitung sering datang ke komisariatku.

Sosok ini menggilai khazanah zoon politicon ketimbang homo socius. Ia lama berkutat pada skenario alam tentang homo homini lupus. Memilih dunia baru guna meyakinkan dirinya juga publik, tanda ia yakin bahwa dunia belum pada jalur yang benar.

Budi sosok kontroversial. Solo menjadi saksi, tentang adrenalin yang ia kerahkan sepenuhnya pada gerakan mahasiswa. Hasilnya fantastis. Semester tiga, ia sanggup mendesain konstitusi KAMA UMS. Biasanya, seumuran itu, beberapa mahasiswa lebih memilih mengekor atau paling banter, menganggap diri underdog, atau meski tampak pandai, ia pasti tak PD unjuk eksistensi. Budi berbeda. Ia pembaca bandel, pendiskusi semalam suntuk, juga penyisir kasus yang tekun. Meski tak pandai mengurus badan, dan terkenal doyan tidur, ia dapat mempersembahkan karya-karya terbaiknya pada gerakan mahasiswa.

Untuk belajar marxisme, ia merapat ke PRD, komunitas yang tak populis dan bahkan tak disukai kader-kader HMI di sekitaran Solo. Untuk mengambil peran gerakan, ia memilih berakrab-akrab ria dengan buruh pabrik atau petani di sudut-sudut perkampungan kumuh. Ia menikmati semua itu sebagai bagian dari dirinya. Meski reputasi politiknya tak terlalu mendapat tempat di kalangan internal HMI, Budi melenggang tak terbendung dan tercatat sebagai salah satu ikon gerakan mahasiswa di Solo.

Fathul, tokoh yang ditanyai Budi, bergeming. Ia hanya sedikit bergerak untuk merapikan buku-buku tebal di depannya. “Revolusi itu ngga usah direncanain. Kalo kapitalisme telah sampai puncaknya, cita-cita komunisme Marx akan terjadi dengan sendirinya,” timpalnya singkat. Setelah sekian lama, aku baru tahu, bagi Leninis-Stalinis, revolusi memang terdiri dari dua tahap. Pertama, borjuasi proletariat. Kedua, sosialisme.

Sosok yang kedua ini Kabid PPA-ku. (Kelak, ia juga mampir sebagai Pengurus HMI Badko Jateng-DIY bersama Budi) Beberapa bulan belakangan ia menjadi teman diskusi intensifku. Ya, aku baru saja lulus LK 1 akhir April kemarin. Biasanya, ia bersepeda ria datang ke kosku hanya untuk meminjami buku. Topi rimba yang lekat di kepalanya selalu mengingatkanku pada undangan diskusi NDP yang selalu sepi, dengan tak lebih dari tujuh kader yang hadir; hingga aku ditunjuk menjadi moderator untuk pertama kalinya.

Fathul Alam. Aku menyebutnya, godfather oksidentalisme HMI Sukoharjo. Orang penting yang satu ini bertipikal autentik. Ia sangat gemar berekspresi dengan cara pandang yang asli ia dapatkan sendiri, bukan adopsi apalagi plagiasi. Walau kental eksistensialismenya, ia menyatakan tegas, bukan penganut Jean Paul Sartre. Aku mesti berpayah-payah menyusun partisipasi yang bukan meniru-niru atau setidaknya, kalau pun aku berniat mengutip, Fathul belum sempat mengetahuinya. Soalnya, bila tak hati-hati, aku bisa dianggap tak memiliki kepribadian, malas berpikir, atau bahkan, kufur nikmat. Dahsyat, kan? Serasa di area Khalifah Al-Ma’mun.

Dia mengajakku untuk bersilaturahmi pada pemikiran sederet pemikir Timur Tengah kenamaan seperti Ali Syariati, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, atau Murtadha Muthahhari. Dedengkot-dedengkot logika Yunani semisal Thales, Socrates, Plato, Aristoteles, hingga Plotinus mewarnai hari-hariku bersama Fathul. Ia sangat doktriner, mirip guru bahasa Arabku di Ibtidaiyah dulu, yang tiap kali ketemu harus menghafal seabrek mufradad. Ia peletak dasar kebutuhanku akan pentingnya membaca buku dan mengubah mind set agar meyakini kebenaran dengan epistemologi yang cukup; tidak taken for granted atau tertipu pseudo-agama—kalimat ini selalu saja muncul tak jemu di setiap deskripsinya tentang eksistensi.

Bila aku melabelinya sebagai Oksidentalis HMI Sukoharjo, lantaran dialah yang paling getol menyuarakan pentingnya cara pandang bahwa Barat bukan segalanya. Tingkah generasi muda Islam yang kebarat-baratan jelas merupakan bentuk keinferioran sikap yang harus dihilangkan. Sebab, menurut Fathul, Barat berperadaban profan; tidak berstandar transendensi yang cukup. Jadi, adalah lemah bila seseorang masih beranggapan kalau Barat itu superior dan layak diikuti karena mereka tidak berbaiat pada kesempurnaan hakiki.

Beberapa jeda waktu kemudian, Budi dan Fathul pun beradu pendapat sekian lama dengan bahasa-bahasa yang tak terlalu aku mengerti. Sekalinya aku turut dalam percakapan, mereka tertawa. Seringnya, aku belum pernah menjamah buku-buku yang pernah mereka tiduri. Atau setidaknya, masih dianggap kader baru yang tak tahu menahu kata sakral yang menginspirasi Tan Malaka untuk tak pernah duduk di kursi kekuasaan… revolusi.

Aku tetap ternganga hingga Subuh menjelang. Entah apa yang mereka bicarakan.**

Kamis, 14 Agustus 2008

Tan Malaka


Hari ini aku ke Palembang. Bisa sampai satu minggu,” seorang kawan berpamitan padaku. Dia hendak memberikan pembekalan political marketing pada sebuah basis politik di sana. Semacam arahan singkat membidik preferensi voters agar kesengsem dan mendukung calon-calon pejabat yang telah disiapkan.

“Hati-hati di jalan. Aku cuma bisa bilang begitu. Ini kalimat standar. Sebab, perjalanan ini bukan bagian agenda revolusi,” timpalku dingin. Entah mengapa, beberapa menit belakangan, aku kembali kerasukan gumpalan pikir Marx tentang pentingnya antitesis dominasi. Aku mulai muak dengan semuanya.

“Ini juga revolusi. Revolusi melalui political marketing,” sanggah kawanku agak berdesing.

“Revolusi untuk kekuasaan melahirkan political marketing. Sebentuk agenda kaum revolusioner gadungan yang tak bisa bertahan, hanya karena tak punya kekuasaan. Tan Malaka disebut cerdas karena ia bisa eksis secara politik tanpa dukungan kekuasaan formal. Bukan malah jadi kacung syahwat kekuasaan bernama demokrasi,” akhirku menukik.

Aku sebut sebuah nama penting di jalur revolusi, negeri Indonesia. Dan kawanku pun tak lagi berkelit. Ia pun mengamini semua stempel itu.

***

Dulu, saat 1926 revolusi menggema di Banten dan Sumatera, sebagai tanda cita meruntuhkan kolonialisme Belanda, kader-kader komunis masih ingusan. Mereka terlalu bernafsu menurunkan simulasi das kapital dalam benak Engels dan Marx ke ranah Hindia yang sama sekali belum terdidik. Deru revolusi hanya nyinyir ditelan angin sore yang lembut menerpa badan-badan kurus rakyat Hindia.

Pada 1948, Semaun dan Muso kembali meneriakkan Revolusi di Madiun. Sekali lagi, dengan merah putih di tangan. Parahnya, momentum ini justru digelar pada masa pertumbuhan republik yang masih balita. Bukan simpati yang didapat, mereka justru dianggap duri dalam daging.

Sewaktu Aidit mengusulkan Angkatan ke-5 dalam tubuh republik pada 1965, dan diduga kuat turut melibatkan PKI dalam konflik bersenjata di tubuh TNI, revolusi pun menjadi sangat mengerikan. Hingga hari ini, semua hal berbau Indonesia berusaha kuat menepis trauma berdarah-darah itu dari ingatan generasi penerusnya. Bung Karno bahkan pernah bilang, “Ini revolusi. Jadi tak akan pernah ada kebebasan pers.” Sebaris kalimat bernada diktatorian, hasil persekutuan aneh PKI dan Bung Karno. Yang bahkan membubarkan Masyumi. Yang bahkan menafikan teguran Hatta soal demokratisasi. Yang bahkan hendak membubarkan HMI.

Tan Malaka berkata, “Mereka kaum revolusioner yang kurang bersabar.”

***

“Kang, aku yakin, Indonesia yang lebih baik itu ada. Sekarang, aku dan kawan-kawan sedang belajar serius bertani. Kalau petani bisa mandiri, Indonesia yang sejahtera akan terwujud,” ujar seorang kawan beberapa waktu lalu.

Bicaranya tak hanya isapan jempol. Sering kali saat aku menemuinya, pengetahuan tentang pertaniannya semakin mumpuni. Ia sangat berobsesi mengetahui proses pertanian, mulai dari awal tanam hingga pemasarannya. Kelak, bila semua ilmu itu telah dikuasai, ia tinggal melakukan penggalangan konsolidasi antarpetani untuk menyejahterakan bangsa. Yang mengharukan, kalimat ‘Indonesia yang lebih baik’ itu ia kutip dari blog-ku. Empati yang terang membuatku belingsatan, lantaran dianggap saudara sejiwa dan sepikiran.

“Asal saat semua telah besar, bukan justru menjadi penguasa baru yang ternyata berkelakuan sama dengan orang-orang yang menurut kita saat ini sebagai orang yang salah,” jawabku khawatir. Sebab, semangat meledak-ledak hanya akan mengantarkan seseorang pada keterburuan yang jelas mencederai cita-cita besar semacam kemanusiaan seperti ini.

Telepon genggamku berderit. Ada sebuah pesan singkat menyapaku, “Kang, ini aku lagi di Bandung. Mau presentasi di depan pengusaha-pengusaha. Gimana caranya biar aku ngga grogi?”

Alisku langsung naik. Sejak kapan orang-orang dekat di sekitarku bisa dibuat setengah hati di depan ngilunya penderitaan kaum buruh atas UMK yang rendah dan fasilitas pemberdayaan dari negara yang minim? Sejak kapan status-status jabatan perusahaan yang hanya bisa berbangga pada dasi dan mobil mewahnya itu mampu membuat seorang kawanku terkesima?

“Kita tidak akan pernah bersujud pada modal dan korporasi-korporasi besar itu karena kita tahu persis efek dari kelakuan mereka. Dan semoga kita lebih baik dari mereka di depan Tuhan,” balasku menahan nafas.

Di lain waktu, kawanku yang lain menyelaku. “Dari perilaku kamu, sebenarnya aku telah tahu kalau kamu memang pantas begini. Soalnya, kita ngga jauh beda.”

Aku pun mengetatkan nyaliku dengan mendukung pernyataan barusan, “Sejak dulu hidupku tak pernah bisa ditebak. Bila memang Tuhan telah menggariskan hidupku dalam ketidakpastian, biarlah aku masuki semua hidup yang tak pasti itu sebagai dedikasi.”

***

Aku beruntung berada pada kisaran aktivitas bermacam tapi bernada sama, revolusi. Dedikasi yang meyakinkan diri untuk memilih jalan mendasar dan bertahan dengan itu daripada sekadar takluk di depan dominasi. Tentu dominasi yang zalim. Tentu dominasi yang tak pantas. Dan tentu dominasi yang tak memberi ruang pada kebersamaan sebagai manusia.

Senada keinginanku untuk tetap dimiliki, dengan semua inginku, yang berharap agar bisa tetap eksis di jalur revolusi. Revolusi atas nama Tuhan.

“Di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim. Dan di depan manusia, saya bukanlah seorang Muslim,” ucap Tan Malaka; semakin memampatkan hardikan gemerlap duniawiku.

Aku tersenyum. Bahkan hingga wafatnya, Tan Malaka tak pernah menikah. Seorang yang sangat dicintainya, dan memilih untuk menikah dengan orang lain, berkata, “Ia orang yang aneh.”

Rabu, 06 Agustus 2008

Miskin Itu Mesti Dimiliki


“Alaaah... bisa aja kamu. Wajar kalo kamu suka dia. Bajunya aja bagus-bagus.”

Aku lupa persisnya kapan kalimat itu mampir di telingaku. Seingatku, ia meniris habis kelebihsukaanku pada kadar yang begitu elitis. Kali itu, kawanku ini menggertak semua kebengalan argumenku atas penghargaan pada kemanusiaan dengan menampilkan wajah ketat; bahwa revolusi tak memberi ruang sedikit pun bagi kesenangan publik. Akan canggung diingat bila kemudian, tatanan besar hidup yang lebih baik itu bertebar dan bersanding dengan gaya kosmopolitku menikmati hidup. Memilih perempuan cantik, kaya, seksi, meski pro perubahan, semisal.

Kebingunganku wajar. Bahkan Natsir pun sempat meradang sewaktu seorang kawan bertanya padanya tentang keikutsertaannya pada Petisi 50. Beliau bilang, “Saya juga tidak tahu kalau kemudian semuanya akan seperti ini.” Ya, sebuah alasan yang sangat manusiawi.

Pada beberapa kesempatan, aku sempat berkilah, Rasulullah juga memilih Khadijah yang jelas terhormat nasabnya, juga kaya dan cantik. Meski kemudian aku berusaha melengkapi semuanya dengan ketangguhan Khadijah menemani Rasul untuk menyebarkan kebaikan di muka bumi.

Apalagi, selama ini pikiranku sangat strukturalis. Aku sangat bersemangat memisahkan atau mengklasifikasikan berbagai hal dengan perbedaan yang curam, termasuk kaya dan miskin. Itu sebabnya aku tak pernah nyaman berada di mall. Itu sebabnya aku tak pernah nyaman bersanding dengan perempuan seksi yang pro mode. Itu sebabnya aku tak mau makan di tempat-tempat mahal. Itu sebabnya aku tak berkeinginan punya mobil mewah atau rumah besar.

Ibuku pernah bilang, “Orang pinter itu ya pasti kaya.” Bisa jadi, bukan kaya dengan harta melimpah, tapi orang yang selalu bisa sedia uang bila ada yang membutuhkan. Sebab, dari dulu, ibuku juga sering bilang, “Jadi orang yang apa adanya aja.” Meski kadang, aku juga seperti dikejar sejuta renternir kalau beberapa hal tak aku penuhi, hanya karena uangku tak mencukupi kebutuhan.

Agak susah memang memosisikan diri di depan kekayaan. Aku ingat Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasul yang paling pandai berbisnis. Apa pun yang ia kerjakan pasti mendapatkan untung yang tak sedikit. Suatu ketika, ia pernah mengatakan bahwa ia sangat ketakutan bila ternyata semua nikmat Tuhan telah dilimpahkan kepadanya di dunia, sementara tak ada lagi sisanya di akhirat. Akhirnya ia pun tak henti-hentinya menghabiskan uangnya di jalan Tuhan. Menurutku, ia tepat memosisikan diri di depan kekayaan. Baginya uang memang tak sulit. Tapi baginya pula, uang adalah sumber kekhawatiran dia pada alam kekekalan kelak.

Aku merunut Hatta. Hingga wafatnya, ia tak kuasa membeli sepatu impiannya. Bukan karena tak mampu, tapi tak kuasa. Entah sama atau tidak, bagiku menampakkan keberlebihan pada tetangga yang kekurangan jelas mengingkari kemanusiaan. Aku pernah bilang pada seorang kawan, “Kalau saja rumah kamu kelak besar, sementara ada satu rumah reot di kompleks kamu, aku ngga bakal hormat padamu hingga tetanggamu itu berkecukupan.”

Kadang, aku merinding juga pada apa yang aku pikir dan inginkan tentang kaya dan miskin. Kadang aku sesak napas kalau berkerumun bersama mereka di hotel-hotel mewah. Kadang aku meringis saat beberapa bagian hidupku ternyata juga berperilaku sama.

Dulu, aku marah pada negara. Dalam Essay in Trespassing: Economics to Politics and Beyond, Albert Hirschman menulis tentang ‘persekutuan yang aneh’ atau ‘persekutuan yang tak suci’ antara pemikiran ekonomi neo-klasik dan ekonomi neo-marxis. Bagi neo-klasik, negara merintangi kekuatan pasar untuk bekerja. Dan bagi neo-marxis negara dianggap sebagai sekutu perusahaan multinasional dan modal lokal atau kaum komprador. Aku lebih nyaman dikategorikan pada kelompok neo-marxis.

Dulu, aku berpikir, keadaan miskin itu karena timpangnya distribusi pendapatan. Ada uang yang menumpuk di satu tempat. Dan ada banyak pihak yang kekurangan, karena secara struktural, uang yang menumpuk itu tak pernah disalurkan pada mereka yang kekurangan. Ternyata, ada yang lebih baru. Distribusi tak hanya tentang membagikan uang, tapi juga tentang pembagian uang dengan seni dan manajemen. Artinya, uang itu sampai dengan kerja keras. Uang itu sampai tidak dengan meminta-minta. Kesimpulannya, pemberdayaan lebih penting daripada distribusi pendapatan.

Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi 1998, menjelaskan kebuntuan pikirku. Sen mengatakan, kemiskinan harus dipandang dalam konsep kapabilitas. Kapabilitas merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang.

Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.

Pikiran-pikiran ini aku komposisikan dari tulisan Chatib Basri saat melepas perginya Sjahrir, seorang ekonom pro pasar yang setuju peran negara dalam mengatur kebutuhan pokok, untuk selama-lamanya. Sjahrir eksponen Malari. Ia sangat dekat dengan mahasiswa. Tapi ia tetap sosok yang tak bisa dijelaskan. Ia paradoks tapi terlalu bersahaja bila harus disalahkan cara berpikirnya. Pro rakyat yang tak kuasa meregulasi pasar.

Aku sempat bertanya pada beberapa orang yang aku anggap mengerti, “Aku ngga habis pikir. Mengapa bisa begitu? Aku ngga percaya kalo semua itu cuma cuci otak.” Tapi semua jawaban itu tak memuaskan. Sepersis pertanyaanku tentang Cak Nur yang kemudian merestui Nadia Madjid untuk menikahi seorang Yahudi. Hingga kini, aku belum bisa berkesimpulan, apakah diperbolehkan seorang Muslim menikahi seorang Kristen, Katolik, dan Yahudi; anak turun Ibrahim.

Tapi yang paling penting, semua pemikir yang aku kutip ini sangat resah pada kemiskinan. Cara mereka memang tak seragam, tapi spirit mereka untuk menyelesaikan persoalan ini dari waktu ke waktu sangat mengesimakan.

Dan aku hanya tahu satu hal. Bahwa seberapa pun rumitnya kemiskinan... aku hanya perlu merasa memilikinya. Itu saja.

“Pengen denger apa yang aku pikirin tentang semua ini?” tanyaku pada seorang kawan.

“Apa?”

“Distribusi teknologi informasi untuk pemberdayaan masyarakat lokal ini harus berujung pada sistem baku. Kalau sudah jadi, kita akan distribusikan ke semua tempat yang memerlukan di Indonesia. Berarti bisa jadi kita akan keluar masuk hutan.”

“Wah, aku seneng kalo babat alas.”

Lha Juminten piye?”

Kawanku tersenyum masygul.

Rabu, 06 Agustus 2008

15.13 WIB