Selasa, 31 Agustus 2010

Think Tank Top


Betapa banyak upaya yang dilakukan koloni-koloni bisnis dunia untuk ‘mengatur’ loyalitas konsumennya. Hingga di batas tertentu, kebutuhan akan berubah menjadi kesepakatan tanpa syarat antara modal dan konsumen. Bayangkan, banyak orang yang rela merogoh koceknya untuk membabat habis semua produk Harry Potter. Atau, berbangga ria dengan simbol-simbol besar seperti Coca Cola, Nike, Mc Donald, Walt Disney di seluruh aktivitas mereka tanpa dibayar sepeser pun. Ya, iklan gratisan. Dan asal tahu saja, semua itu dilakukan dengan ikhlas, tanpa tuntutan apa pun. Maka wajar kalau kemudian, di Wonogiri, banyak kita jumpai pribumi-pribumi millenium yang tiba-tiba sangat meminati pola-pola ‘bule kota’.

Dalam spektrum global, penetrasi modal dilakukan di seluruh ranah sosial, mulai dari kebutuhan pokok hingga ke isu pokok. Imperium global ini bahkan dilakukan berdarah-darah. Tilik saja kasus-kasus perebutan legitimasi seperti kasus Freeport, Exxon, atau Indosat. Atau hengkangnya raksasa elektronik Sony yang meninggalkan ribuan korban PHK dan bisnis-bisnis tersier yang berkaitan erat dengannya. Atau, banjirnya dana-dana sosial yang masuk ke kantong-kantong LSM. Belum lagi, bisnis senjata dan alat perang yang juga menggiurkan, transaksi minyak lepas pantai yang full kolusi, atau ... SBY yang memohon pada KADIN AS untuk investasi.


Sebenarnya, tak semua segampang di atas kertas. Realitas yang dibangun media tak selengkap dan tak sedetail di lapangan. Robert Heffner dalam Islam Pasar Keadilan terbitan LkiS Yogyakarta merunut publik Indonesia yang ternyata tak benar-benar memahami demokrasi atau globalisasi. Ia kaget kalau Samuel Huntington harus men-judge bahwa Islam dan Barat akan berseteru. Ya, Huntington terburu-buru untuk menyatakan bahwa sejarah akan segera berakhir dan demokrasi adalah pemenangnya. Karena, homogenisasi adalah kesalahan fatal dalam mentransformasikan mind share (ide-ide tentang penguasaan pasar) tertentu.


Tak jauh berbeda, bila tema yang dipersoalkan adalah liberalisasi baru modal dalam area global sekarang ini. Tentunya, tak semudah menyamakan persepsi tentang cara makan steak yang benar. Tentunya, tak semudah membuat tren tentang kerennya tank top hingga ke dusun-dusun terpencil di Gunung Kidul.


Pemilik modal berharap bahwa loyalitas adalah produk penting dalam menguasai pasar. Selain standar heart share (membuat konsumen merasa nyaman dengan kepedulian), mereka juga mendesain ideology share (membuat konsumen merasa loyal atas nama kebenaran). Namun, pola ini malahan membuat citra baru tentang homogenisasi pola yang membuahkan kebijakan memaksa, otoriter, dan menganggap komunitasnya sebagai yang terbaik.


Jihad dan Mc World
karya Benjamin R. Barber terbitan Pustaka Promethea Surabaya menjelaskan banyak hal tentang fundamentalisme baru ini. Menurutnya, dunia telah dipenuhi dengan janji-janji idealitas yang berbuntut pada pemaksaan kehendak, bahkan mengeksekusi banyak kepentingan lokal untuk digulung bersama sentralisasi harga.


Jadi, niatan Barat dan AS untuk menjadi raksasa modal sebenarnya bukan perkara nilai (value) tentang keseimbangan dunia. Pemikiran dan terobosan ide yang didukung propaganda gila-gilaan hanya berefek pada segelintir komunitas di tanah air. Artinya, pada praktiknya, tak semuanya bisa diatur sentral. Dan ... yang pasti, mereka hanya bersemangat untuk mencari klaim pemikir (think tank); bukan benar-benar pemikir. Sebab, mereka, tidak lebih, hanya bisa berjualan tank top. Ya, think tank top. Sempurna, kan?


Sederhana saja, tentunya kita tak perlu berdebat tentang kemiskinan yang telah menggurita sebagai buah akumulasi modal atau berkuasanya konsumerisme. Adalah paradoks bila ribuan mall nangkring, sementara area kumuh tak pernah benar-benar digarap; kalau ternyata stok anak-anak putus sekolah yang mencapai jutaan. Nah!


Solo, 20 April 2006

Hitam


Aku pernah bercerita pada seorang kawan tentang screening LK 1 HMI yang berbeda dari biasanya. Waktu itu, aku berhadapan dengan calon peserta yang mualaf. Ketika memilih untuk menjadi Muslimah, ia tak didukung oleh semua anggota keluarganya. Dia juga berniat belajar Islam serius di sini. Ia tak cukup alasan, mengapa harus komunitas ini yang ia pilih. Ia hanya diajak teman, dan ia beranggapan, bahwa ini mungkin pilihan yang tepat.

Aku sempat bertanya padanya tentang siapa yang mengajarinya ilmu keislaman selama ini. Katanya, kakak-kakak mentor di fakultaslah yang rajin mengawalnya memahami Islam. Aku dan kawanku langsung menjura dan bertepuk tangan, “Hebat… hebat.” Kompak kita bilang, kalau kakak-kakak mentor itu berjasa besar pada Islam, dan itu riil, tak lagi konseptual.

Sejak itu, setiap kali berpapasan sama cewe kerudung besar yang naik sepeda berkeranjang, kita pasti menyapanya dengan muka semanis mungkin, “Halo kakak mentor….” Dalam hati yang paling dalam, sepertinya, aku dan temanku memang simpati berat pada mereka, tanpa perlu sangkalan berarti.

Agak mirip, suatu ketika, seorang kawan pernah berkirim tulisan padaku tentang hidayah, “Seandainya teman dekat kita punya ‘dunia hitam’, trus orangnya superkeras hatinya alias susah diomongin, apa yang bisa kita lakukan untuk menolongnya?”

Ketika itu pula, bergegas, aku jawab dengan sangat bersemangat. Rasanya, aku sedang mirip kakak-kakak mentor yang sedang parkir sepeda keranjang, eh… maksudku, transformasi nilai-nilai keagamaan tanpa tendensi pribadi. Mereka sangat bahagia bila ilmu agama yang mereka yakini bisa disampaikan kepada orang lain, meski kadang agak susah. Ya, butuh kesabaran ekstra dan kerendahan hati yang luar biasa.

Aku mulai berkhotbah. Pertama, in depth version. Pada awalnya, perlu diperkarakan tentang ‘hitam’. Bagi ilmuwan, warna hitam diasosiasikan sebagai ilmu. Makanya, tinta hitam adalah sarana untuk menegaskan bahwa hitam sarat dengan kesan kepintaran dan kedalaman pikir.

Bagi agamawan, hitam dipersepsikan sebagai keseimbangan dunia. Andai tak ada hitam, mungkin putih tak akan beridentitas. (Ingat iklan no black no game?) Walau Rasulullah berkulit putih, hajar aswad atau Kakbah berwarna hitam. Bilal bin Rabah yang hitam pernah dibaiat sebagai gubernur ketika terjadi kekosongan kepemimpinan di Madinah. Meski bertubuh gelap-kelam, menurut para sahabat, ia adalah manusia berhati putih.

Di sisi lain, bagi kaum moralis karbitan, hitam dianggap sebagai simbol keburukan dan keangkaramurkaan. Hitam diidentikkan dengan hal-hal kotor, jorok, dan menjijikkan.

Entah…. Barangkali, filosofi warna memang bukan perkara mudah. Putih lebih dipilih lantaran semburat kilau cahayanya yang lebih dominan, atau mungkin ia dominan karena kesan suci verbal dengan penisbahan hitam yang identik dengan kekasaran dan hal-hal yang kasar.

Atau … sebenarnya, ini hanya persoalan sentimen ‘keindahan bikinan’, yaitu keindahan yang direka-reka untuk menegaskan dominasi kelompok tertentu. Artinya, ‘dunia hitam’ bukan karsa yang tiba-tiba ada. Ada penilaian yang terburu-buru tentang ketaatan seseorang pada hukum tertentu tanpa menelaah klausulnya. Ia hitam karena benar-benar hitam, atau hitam lantaran ‘dihitamkan’, atau sedang ‘menghitamkan’ diri, atau bahkan sebenarnya, hanya tampak ‘kehitam-hitaman’.

Seseorang tidak akan menikmati perilaku tertentu tanpa adanya penciptaan atau rekayasa pola. Setidaknya, kita tahu kalau perilaku itu memang sengaja dilakukan; pun dengan sadar dan tanpa keberatan yang berarti. Ya, ia bersebab.

Selanjutnya, parameter atau indikator penilaian tentang hitam harus dikriteriakan. Ia hitam karena memilih untuk berperilaku hitam. Atau, ia hitam karena dinilai orang sebagai hitam. Atau, ia hanya berpura-pura hitam. Atau, semua itu salah. Ya, sebenarnya ia hanya kelihatan hitam; tak benar-benar hitam.

Terakhir, nurani paling tahu jawabnya.

Kedua, practice version. Pertama, sayangi dia apa adanya, tanpa ada kesan kuat kalau dia sedang bersalah. Sebab, tidak ada yang abadi di dunia ini. Artinya, pendosa tidak selamanya menjadi pendosa. Kedua, beri contoh berperilaku baik yang layak tiru, menenangkan, dan logis-berguna. Ketiga, kita tidak sedang menolongnya, tapi menyampaikan hal yang baik menurut kita. Terakhir, berdoa agar dia kebanjiran hidayah.

Aku kutip juga telaah Blog Ghufron. Web log tempat curhat aktivis tarbiyah seantero Indonesia ini sering membahas pernik-pernik muda di kalangan ikhwan-akhawat yang mendamba keselarasan materi dan ukhrawi, kebersamaan syar’i dan dinamika masyarakat, juga gaul dengan tetap ingat pada jalur-jalur Allah.

Solo, 13 Oktober 2006

Pragmatisme-Religius


All of my life
I have been waiting for all you give to me

Open my eyes and show me how to learn….


Heh, aku tersungging. Belakangan, kuping dan otakku dipenuhi My Valentine-nya Jim Brickman featuring Martina McBride. Meski sudah berdasa-dasawarsa umurnya, lagu itu masih sangat soft untuk dikenang, difanatiki, dan mungkin, disesali. Aku tidak sedang kehilangan sesuatu, atau mungkin, merindukan sesuatu. Aku seperti sepakat untuk membuka persepsiku atas realitas yang aku jalani sekarang dengan konstruksi realitas ketika lagu ini dibuat.

Menurutku, Hegel hampir saja salah. Aku bisa rasakan kalau sejarah itu bisa terulang kembali, bukan terus-menerus dinamis. Aku terpaku pada keinginanku atas masa lalu yang sepertinya memang penting untuk diulang… persis!

Sebenarnya, lagu ini sederhana. Ia bercerita tentang kesungguhan, pemberian, pengertian, dan yang pasti, pengorbanan. Belajar mengerti, belajar memaknai pemberian, menyimpulkan bahwa kasih adalah nilai suci untuk dirasakan, dipikirkan, dan dibagi.

Banyak pilihan limit yang lantas lahir. Ya, apa pun yang terjadi, bagaimana pun, biar pun, atau ngga’ peduli tiba-tiba saja mengeras kuat. Ekspresi rigid yang mewakili keyakinan meski sedikit nekad. Ada ruang untuk mendeklarasikan kebebasan memilih sebelum “intervensi kondisi” berpengaruh kuat. Ada kesempatan untuk mendengarkan hati nurani sebelum waktu yang “seperti” tak bisa dilawan. Karena, andai kesempatan itu tak ada, Hegel memang salah.

If there is no way
No way to stay ….

Pfuh… garansi banget ngga’ sih? Tapi bukan begitu. Tak ada pemisahan antara eksistensi dan esensi. Bila kita lantas “menuhankan” kekuatan matrial, adalah karena sulitnya memisahkan eksistensi Tuhan dalam bentuknya yang matrial. Sebab, Tuhan memang bukan matrial. Namun, eksistensi Tuhan ada dalam semua hal matrial. Semisal, ada penyandaran yang berlebihan kepada sesuatu, bukan lantaran sandaran itu Tuhan, tapi sandaran itu adalah persepsi yang kita buat untuk menemukan Tuhan. Trus, juga bukan perantara, karena untuk menuju Tuhan tak perlu perantara, hanya butuh metode.

Ini bukan kriteria tentang manifestasi kodrat. Ini bukan hal yang gampang dimengerti tapi sering dinikmati. Namun, tak senaif itu. Kita sepakati bahwa memang ada ruang pilihan yang tak perlu pembahasan cukup, karena memang kodrat. Baru selanjutnya, kita kriteriakan semuanya untuk verifikasi keabsahan keyakinan. Ya, menyusun persepsi atas itu.

Menurutku, menerjemahkan 'awal' lebih gampang ketimbang harus mengaplikasikan konsekuensi 'awal' itu dengan menjadikannya proses yang definitif. Semisal, tanpa kesulitan yang berarti manusia akan berkecenderungan untuk meyakini bahwa 'awal' memang ada. Manusia adalah makhluk percaya. Ia, secara hakikat, menyadari keberadaan sandaran yang terang-terang sangat bisa dimengerti. Sebab, 'awal' itu memang 'ada'. Ia adalah Tuhan. Cuman, kalo lantas kita dituntut untuk melanjutkannya dengan menyusun kriteria penjelas tentang konsekuensi 'ada', kompleksitas pikirnya akan semakin terasa. Sebab, mematrialkan 'ada' dalam aktivitas butuh perantara serius yang mensyaratkan kriteria khusus pula. Maka wajar, kalo Tuhan juga menisbahkan rasul dalam mentransformasikan ajaran nash suci ini ke realitas yang lebih kontekstual. Selain itu, butuh pemahaman rigid tentang dinamisasi nilai itu dalam kerangka fluktuatif. Maksudnya, di satu sisi, kita meyakini kebenaran yang sampai kapan pun tak akan terdefinisikan sempurna, sementara di sisi lain, kita dituntut pula untuk menyusun keyakinan tentang kebenaran menurut persepsi kita. Sebuah pertanggungjawaban tentang keyakinan yang sulit. Bagaimana mungkin kita akan memilih kebenaran, sedangkan kebenaran itu tidak akan pernah kita gapai; sedangkan kebenaran itu masih selalu ada pada titik dinamis; ya, masih berproses? Kita harus memilih, meski kita yakin bahwa itu tak akan pernah bisa selesai.

Sampai di sini, aku maklum, kalo lantas mempertahankan dan melanjutkan itu lebih sulit ketimbang meyakini sesuatu. Semisal, memprakarsai atau mendeklarasikan komitmen (baik itu komitmen kepada agama, keluarga, atau yang lain) adalah hal yang gampang, sedang menerjemahkan itu dalam berbagai kontekslah yang tidak gampang. Kita harus meyakini bahwa komitmen itu mahal—bila terlalu jauh dibilang suci—dan harus dipertahankan sedang kita sendiri ragu kalo ternyata, persepsi tentang komitmen itu tak pernah selesai. Setia itu harus, cuman kalo harus menghubungkannya dengan perilaku yang mencerminkan kesetiaan, ternyata masih perlu banyak pendekatan.

Komitmen sebagai kekuatan suci adalah keniscayaan. Hanya saja, menerjemahkan komitmen dalam kerangka nyata dinamislah yang susah. Makanya, aku samakan itu dengan dinamitas pikir kita tentang runutan kebenaran. Ya, berproses 'menuju' kesempurnaan. Memperbarui persepsi itu setiap saat, tanpa menyangkal bahwa nash itu suci. Begitu pula komitmen, ia sangatlah suci.

Pragmatisme adalah cara pandang yang beranggapan, bahwa semua hal itu dinilai atas dasar kegunaan (manfaat). Sedang religius merupakan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Jadi, pragmatisme religius menjawab persoalan-persoalan seputar pemisahan dunia dan akhirat. Artinya, agama adalah inspirasi manfaat dan kemanfaatan adalah nilai yang ditawarkan agama. Bila dua hal ini dipisahkan, berarti ada pijakan baru tentang manfaat dan agama yang terpisah.

Secara riil, manusia membutuhkan sandaran dalam mengagendakan kemanfaatan di dunia. Sandaran itu tak bisa ditawar dengan apa pun alias absolut. Nah, manusia juga perlu untuk mewujudkan manfaat dengan didasarkan pada sandaran tersebut agar kekal, tidak membosankan, sementara atau gampang ditebak. Berarti agama dan manfaat itu selaras. Sederhana kan?

Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (Yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh (Ibrahim: 2-3).

Akhirnya…

I will give you my heart…
Until the end of time…

You’re all I need…
My love…

My Valentine…


Solo, 12 Mei 2005

Perfect


Semua orang mendamba kesempurnaan. Kesempurnaan yang bermakna kebenaran, kesempurnaan sebagai cita-cita makhluk beriman, kesempurnaan untuk garansi keabadian, atau kesempurnaan atas kesan sesama makhluk; biar tampak sempurna. Ya, binatang pun akan merasa nyaman bersama tuannya yang penyayang. Ia menangkap kesan kuat bahwa tuannya sedang menawarkan kesempurnaan yang tidak dia miliki.

Realitas tentang kesempurnaan dapat dibangun dengan kesan dan pencitraan. Tapi, bukan berarti kita harus berdiri di atas menara gading dengan menawarkan sejuta garansi kesempurnaan kepada semua orang. Kita tak perlu bersusah-susah menjadi sosok yang untouchable. Bukan juga membaiat diri menjadi figur yang sangat didamba khalayak. Bahaya… ketergantungan hanya akan menyisihkan kesadaran massa. Publik akan berharap pada kita, sedang sebenarnya, kita tidak sempurna. Ya, kita hanya piranti.

Superioritas hanya akan menepis persepsi bahwa Allah Mahaadil. Sebab, realitas tentang kesempurnaan ini hanya akan memancing persepsi, bukan hakikat. Sebab, realitas tentang kesempurnaan harus dapat ditemukan oleh setiap orang bersama petunjuk Allah Swt. Andai manusia tak diberi peluang untuk meraih kesempurnaan atas dirinya sendiri, banyak orang akan merasakan ketidakadilan takdir. Apalagi, untuk itu, ia telah berharap pada sesama makhluk. Karena, kita hanya bekerja sama. Dan tentu saja, ini tidak masuk akal.

Kita hanya perlu dedikasi. Bahwa pengabdian pada semua hal yang benar adalah pilihan. Tentunya, dengan ukuran kemampuan yang kita punya. Jika memang ada di jalan benar, tidak ada yang perlu kita bedakan atas nama apa pun. Ya, privasi atau tuntutan untuk menjadi spesial memang hanya untuk Allah. Bahkan, bagi orang terdekat kita pun, realitas tentang kesempurnaan perlu untuk dibangun. Kita tak boleh tampak lemah, sebab manusia adalah makhluk yang lemah merupakan keniscayaan. Jadi, keniscayaan bahwa kita yang lemah tak perlu dijadikan alasan kunci untuk membunuh pengakuan publik akan ketidakmampuan kita. Kita tak pantas mengeluh, karena oleh Al-Quran, manusia dinyatakan sebagai makhluk yang suka mengeluh. Kita harus sedikit sungkan untuk blak-blakan pada orang lain menyoal kekurangan kita; bukan untuk sesama makhluk—terutama manusia—akan tetapi untuk Allah. Sebab, Allah menganugerahi kita, realitas tentang kesempurnaan.

Ini reputasi keimanan. Pertama, karena kita yakin bahwa Allahlah tempat kembali, semua kerapuhan kita hanya pantas disandarkan pada-Nya, bukan pada sesama manusia, atau makhluk lain yang lebih rendah derajatnya. Kedua, karena kita yakin bahwa Allah bersama kita, kita tak terlalu membutuhkan pengakuan. Kita hanya perlu berbuat yang terbaik untuk-Nya. Jangan keseringan mewajarkan diri, bahwa manusia memang butuh diakui. Ketiga, karena semua akan sirna, nothing to lose aja. Tak ada yang lebih penting dari pencapaian akal kita akan hikmah di balik semua hal. Ya, kita tak akan menyesal atas apa pun. Karena, semua pasti bermanfaat; tak ada yang sia-sia di muka bumi ini.

Meski kadang pula, kita harus akui, semua orang butuh kenangan terbaik untuk membawa eksistensi dirinya pada kehidupan yang dramatis. Sebab, manusia akan memiliki spirit kehidupan yang tinggi bila semua hal tampak menakjubkan; tidak biasa-biasa saja. Dan semua orang akan mati-matian untuk menciptakan momen fenomenal itu. Hingga akhirnya, semua memang layak untuk dikenang.

Dan… kalau pun kita tak ‘seingin’ publik, kita akan tetap punya kemisteriusan yang serius. Ia adalah Allah. Maksudnya, andai kita tak sehebat yang diharapkan khalayak dan kita bukan ‘pemenang’ versi publik, kita tetap memiliki reputasi keimanan yang membuat kita tenang. Karena, sekali lagi, kita punya realitas tentang kesempurnaan.

Bahkan pun, andai saat ini… kita harus mati.

Tidaklah kalian menunggu kecuali kekayaan yang menjadikan durhaka (melampaui batas), kemiskinan yang membuatmu lupa, sakit yang merusak, atau tua yang melemahkan, atau mati yang mendadak, atau Dajjal barang gaib yang ditunggu, atau hari Kiamat. Sesungguhnya Kiamat itu mengintai dan sangat dekat. (HR. Turmudzi dari haditsnya Abu Hurairah)

Solo, 23 Juni 2006

Nilai


“Aku butuh refreshing,” seloroh jutek kembali memenuhi telingaku.

“Lho… berarti kerja dan senang itu dipisahin? Emang ngga bisa, kalau dijadiin satu. Kerja itu yang senang, trus pas senang kita juga ngerasa sedang kerja.”


***


Dialog yang tak utuh. Butuh banyak waktu untuk membedah pemisahan antara pekerjaan dan kesenangan; duniawi dan ukhrawi; hakikat dan verbal. Aku tahu, ini pekerjaan sulit. Apalagi kalau bukan menjelaskan apa-apa dengan kaffah (menurutku). Sedangkan, aku juga tahu persis, bahwa aku juga butuh lisensi kaffah. Berarti, sama-sama pengin kaffah. Tapi, di sisi lain, aku juga harus berani berpersepsi. Semoga Allah mengampuniku andai khilaf.


Begini….


Berawal dari interest, manusia akan berupaya untuk mencari kepuasan hidup. Selain dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk survive, manusia cenderung ingin diakui keeksisannya. Selanjutnya, dua motif ini membentuk pola pikir dan tujuan manusia. Pada kenyataannya, semua cara pun ditempuh.


Selanjutnya, dari ketundukan manusia pada tradisi, keyakinan temporal, hingga ke kepercayaan hakiki, akhirnya, manusia memiliki tipikal bermacam-macam. Mereka mengekspresikan semua itu dalam perilaku yang menurut mereka, harus dipertahankan sebagai sebuah kebenaran.

Kaum materialis yakin, semua hal harus ada manfaatnya, tidak peduli dari mana datangnya. Artinya, apa pun karya atau produk yang ada, asalkan bisa mendatangkan manfaat, pasti dianggap sebagai kebenaran. Lebih-lebih, bila dapat dibuktikan kasat mata, bisa dikira-kira, dan yang jelas menguntungkan. Mereka sangat menyukai kuantifikasi, kalkulasi, dan asas manfaat, sedangkan produk mereka adalah teknologi, sains, dan modernisasi. Tentu, ini klaim sepihak.


Di pihak lain, kaum idealis mengagungkan pemahaman mereka tentang keseimbangan dunia, kebahagiaan, ide, keadilan, kenyamanan dalam bingkai kemanusiaan. Mereka selalu berbicara tentang idealitas, yakni bagaimana seharusnya sesuatu terjadi. Ada kalanya, kaum ini sangat mendamba dan meyakini sesuatu yang terang-terang tidak tampak. Mereka menganggapnya sebagai realitas nonmateri yang bisa dikriteriakan dalam persepsi tapi tidak dalam bentuk tiga dimensi yang dibatasi ruang, waktu, atau massa kebendaan. Kaum ini juga sangat bernafsu meyakinkan dunia tentang optimalnya cita-cita atas hal-hal material. Maksudnya, materi hanya sarana mencapai cita-cita, bukan cita-cita itu sendiri.


Beriring kaum materialis dan idealis, terdapat koloni transenden. Barisan ini mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk ‘kegunaan’ dan ‘cita-cita’ abadi; Tuhan. Semua perilaku yang ada didasarkan pada literatur-literatur suci dan penghambaan terhadap kekuatan immaterial atas kepentingan material. Kaidah-kaidah yang ada pun dirunut kebenarannya bila mewakili perintah Tuhan. Apa pun selalu disandarkan pada ketentuan, atas nama Tuhan.


Meski berbeda-beda, semua keyakinan tersebut pasti memiliki struktur. Pertama, bisa dipastikan bahwa ia memiliki tujuan hidup. Kedua, muncul ketentuan-ketentuan yang diyakini. Maksudnya, nilai-nilai yang dianggap sebagai rujukan. Ketiga, ada petunjuk aktivitas atau pola kerja. Ia biasa disebut syariat, hukum, atau ketentuan berbentuk mekanisme dan mekanisme. Keempat, variasi produk dan karya. Artinya, nilai memiliki bukti nyata yang dianggap sebagai representasi kebenarannya. Terakhir, ada logika kompensasi sebagai konsekuensi logis aksi. Di titik ini, semua keyakinan menawarkan banyak keuntungan baik langsung maupun tidak langsung; material maupun immaterial.


Dapat disimpulkan, ada semacam pranata sebagai keniscayaan pola aktivitas. Setiap berhak atas nilai yang ia tafsirkan sendiri, dengan ketentuan yang ia pahami. Kalau pun harus ikut atau turut pada tafsir nilai orang atau kelompok tertentu, harus dengan pemahaman yang cukup pula, bukan taklid, apalagi menganggap semua nilai itu telah selesai.


Dan bagiku… itu penting.


Sabtu, 21 Oktober 2006

Mahasiswa Baru dan Tokek


Gedubrak !!! anak kecil itu jatuh tersandung barang berat. Selanjutnya, tangisnya terdengar pecah memenuhi rongga telinga seisi rumah. Tangisan yang wajar dan khas dari seorang anak kecil. Dan setelah beberapa saat kemudian dia pun terdiam. Tangisnya tak lagi mengharu biru. “Yah, besok kalau beli sepatu yang ada lampunya,” begitu pintanya pada sang ayah. Lucu dan unik bagi seorang Gedhe Prama, sang ayah. Namun, di beberapa waktu kemudian, berbagai merek sepatu meluncurkan model sepatu yang berlampu; tak peduli produk ekspor atau impor.

Gedhe Prama bukan tak berdasar waktu ide aneh itu lantas dikaitkan dengan tangisan buah hatinya akibat tersandung. Dia tahu betul, betapa ide sangatlah berarti berarti bila diolah dengan tepat dan cerdas. Produksi ide tak hanya lahir ketika gagasan para pakar beradu di pentas podium-podium ilmiah. Karya tak harus menggeliat sekadar oleh sang pemilik kaca mata tebal, “kutu buku”. Inovasi tak wajib lahir dari observasi yang rumit. Tapi ide mampu dipahami sebagai aliran darah layaknya orang mesti berkedip.

Konon, dahulu tokek sangat disukai manusia sebagai pemberi tanda waktu yang konsisten dan dapat dipercayai. Hingga, pada suatu waktu tokek tak tepat waktu lagi akibat terlena akan fasilitas yang diberikan manusia. Mulai saat itulah tokek akhirnya dimusuhi manusia karena ketidakkonsistensiannya.

Waktu itu tokek tak yakin kalau suaranya bakal dipuja banyak orang mengingat dengan matahari atau bulan pun manusia telah tahu waktu. Dan sepertinya, tokek pun bukan pilihan yang benar-benar dibutuhkan. Hanya karena manusia telah terbiasa dengan kelakuannya, maka pola lazim akan kebiasaan pun terbentuk.

Dan tentunya mahasiswa baru bukanlah tokek. Mahasiswa baru juga bukanlah anak kecil yang gampang menangis ketika tersandung sesuatu. Namun, asumsi feodal tentang mahasiswa baru adalah pemain baru memang telah mengakar tidak hanya bagi kakak tingkatnya. Tapi juga bagi orang yang “dianggap baru”, mahasiswa baru. Entah karena sistem strata pendidikan yang memisahkan elementary, junior, dan high school tak seperti di eropa. Namun, tak sekadar strata pendidikan. Persoalannya adalah justru pada pengaminan terhadap kekuatan sistem yang telah ada. Ya, taken for granted.

Ideolog-ideolog Iran mampu begitu tangguh dikarenakan mereka begitu paham akan nilai-nilai Islam, serius belajar filsafat dan sains modern, tidak pernah sepakat akan ideologi pendahulunya, dan selalu memposisikan barat sebagai komunitas yang harus selalu diawasi dan dipelajari. Seakan mitos tentang kekuatan ‘baru’ atau ‘muda’ sebagai pilar perubahan memang sudah sampai pada tahapan keyakinan. Soekarno pun adalah sosok yang selalu mendengung-dengungkan kekuatan pemuda di eranya.

Bukan sekelas Jerry Rubin, tokoh pergerakan anti perang Vietnam Amrik yang tumbang di usianya yang masih muda akibat komitmennya tentang perjuangan dipertanyakan golongannya saat dia sudah mencium bau uang. Atau tentang sumpah pemuda, penculikan Rengas Dengklok, angkatan ‘66 waktu KAMI dan KAPPI unjuk idealismenya. Atau … ‘98 kemarin.

‘Baru’ bukan kriteria ingusan, kolokan, atau amatir. Namun, ia adalah warna baru dalam dinamisasi kondisi. Jadi, mahasiswa baru adalah sosok eksis yang tak seorang pun layak menjustifikasi ke-baru-annya. Bila ini tak dipahami sebagai azas berpartner atau sekadar dimunculkan lantaran ada tendensi pengakuan akan eksistensi pendahulunya, sistem kemanusiaan di persada ini telah bobrok.

Solo, 16 Juli 2002

Latah Maksum


Sederhana saja, aku tak terlalu nyaman dengan permisivitas, meski aku tahu, bahwa aku perlu moderat untuk menyambanginya. Yah, barangkali semua memang berdasar dan jelas klausulnya. Sebentar, kenapa aku lebih suka reaksioner, ketimbang menengarai preferensi yang mungkin belum terlacak. Nuranikah? Atau, aku sedang merasa tak dijumawakan. Tentunya, atas nama nilai. Atau, kesalehanku memang sekadar ‘perlu’ dipandang formalis. Sebagai simbol, tuntunan, dan sedikit anekdot yang mungkin agak kesufi-sufian agar tak tersentuh.

Nilai tak berujung relatif. Benar, maksudnya, kriteria relatif muncul kan lantaran proporsi sosial yang dipakai. Sebab kalau personal, semua pasti absolut, meski jelas semuanya ada di titik dinamis. Benar juga, sekarang, aku sedang bicarakan kaidah sosial. Bagaimana aku melihat, bagaimana mereka mendengar, dan bagaimana kita perlu melihat dan mendengar, bersama.

Artinya, apa pun harus berstandar resistensi nilai yang cukup. Semisal ada negoisasi, ya tak perlu susah-susah membicarakan, atau berjustifikasi, bahwa ini ‘privat’, sedang yang itu ‘publik’.

Konsekuensi logis donk! Apalagi, publikasi hasrat memang hanya buah cerita yang tak perlu dipikirkan, hanya perlu didaku, bagaimana kalau kita atau aku bernasib demikian. Setidaknya, andai aku bekeinginan demikian.

Ah sudahlah. Semua pasti baik-baik saja. Mekanisme alam ciptaan memang harus berantakan diagnosisnya. Tentunya, agar manusia memang tunduk atas supremasi nilai-nilai Tuhan. Ya, akhirnya, nash memang suci dan relevan bagi yang mau berpikir.

Nisbahku sebagai khalifatul fil Ardh ada lantaran ada support, bahwa dunia memang sedang tak konsisten. Walaupun permisivitas pun berklausul jelas. Artinya, ia pun konsisten pada ketidakkonsistenannya.

Aku bersaksi bahwa Allah Tuhanku, selamanya! Semoga ia tak bosan memaafkanku, selamanya!

Ya... selamanya untuk selamanya....

Solo, 10 Juni 2005