Selasa, 31 Agustus 2010

GUS DUR


Gus Mus, seorang dekat Gus Dur, merasa sangat kehilangan atas kewafatan cucu pendiri NU itu. Sejak lama, Gus Mus menjadi partner berpikir dan berbuat atas nama Islam dan Indonesia. Mereka berkawan sewaktu sekolah, dan Gus Mus sempat merasa kecewa pada Gus Dur, lantaran susah ditemui, semasa Gus Dur menjabat Presiden RI.

Ya, Gus Mus dan Gus Dur. Dua simpul besar NU yang dapat dijadikan teladan dalam membumikan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Banyak orang bilang, tanpa keduanya, Islam akan tampak rigid dengan sederet teks dan segudang peraturan yang, sepertinya, sangat sulit dijalankan. Keduanya selalu punya cara untuk menyelesaikan persoalan dengan penuh keceriaan. Dan keduanya selalu banyak cara untuk membangun optimisme berbangsa.

Barangkali tidak selalu benar melihat Gus Dur, lewat kacamata Gus Mus. Tapi tak berlebihan pula bila sebenarnya kedua sosok ini sangat sulit dibahas satu per satu. Maka bila suatu waktu Gus Dur menjadi sangat kontroversial, Gus Mus dapat membuat suasana menjadi sejuk dengan puisi-puisinya. Dan bila pada kali yang lain Gus Mus penuh kritikan mendasar seputar keberagaman dan keberagamaan, Gus Dur bahkan lebih mobile dengan semua tindakan strategisnya.

Yang paling penting, dua sosok mengagumkan tersebut besar di kawasan tahlilan dan yasinan, Nadhliyyin. Betapa sebenarnya, banyak yang perlu dikupas dari kultur pendidikan dan aktualisasi kaum yang katanya, dapat lebih nasionalis, daripada kaum yang mengaku nasionalis. Betapa secara kultural kedua Gus ini sangat meresapi ketawadukan dan tafsir Islam yang ‘mengerti’ akar rumput. Sebab, perilaku mengerti itu tentu dekat dengan ajaran Islam.

Pluralisme
Secara gamblang, tak banyak yang menyangkal bahwa Gus Dur adalah penganjur dan pelaku pluralisme. Dalam pengertian sederhana, pluralisme adalah paham yang dapat mengerti sesamanya.Mengerti karena sejak dulu manusia diciptakan berbeda. Mengerti karena pilihan yang berbeda itu fitrah. Mengerti karena tanpa pengakuan terhadap perbedaan, justru akan mengingkari kodrat.

Ada yang yakin, pemahaman atas pluralisme menjadikan seseorang menjadi terlalu bebas dan tanpa aturan. Maka banyak orang yang kemudian seenak perutnya menafsirkan nilai, plus agama. Namun bagi Gus Dur, pengakuan atas kebebasan tersebut mewakili Islam yang sesungguhnya. Tafsir turunannya, tanpa direkayasa, kebebasan tersebut akan berhadapan dengan kebebasan yang lain. Secara genuine, akan membentuk pranata nilai yang lebih beradab, lantaran memberi ruang partisipasi bagi sesama.

Pluralisme juga mengakui semua potensi manusia sama. Semua dapat berprestasi. Semua dapat menjadi pemimpin. Semua dapat berbuat yang terbaik pada sesama. Akan lebih baik selalu merasa kurang atas semua perbuatan yang telah dilakukan, daripada merasa cukup baik atas sesuatu.

Pluralisme juga fungsional atas peran kemanusiaan. Manusia mutlak punya kelebihan sendiri atas yang lain. Maka tak ada gunanya merasa lebih baik atas yang lain, secara eksistensi. Pengangkangan atas peran orang lain, hanya akan melahirkan diskriminasi, lantaran ada dominasi seseorang atas yang lain.

Dedikasi
Sebaik-baik Muslim adalah Muslim yang dapat berguna atas sesamanya. Jadi Gus Dur tengah memberikan banyak hal atas hadits tersebut. Gus Dur menjadi teladan langsung yang seperti tak ragu sedikit pun atas tindakan yang ia pilih. Kenyataan ini bukan lagi utopia, lantaran Gus Dur menerjemahkannya dengan cara yang paling sederhana.

Keberpihakan Gus Dur pada kaum minoritas tak hanya memberi inspirasi pada dunia, tapi juga melahirkan tata dunia Indonesia yang baru. Indonesia yang bermartabat, lantaran bangga dengan semua perbedaan yang dimiliki. Indonesia yang tidak diskriminatif, lantaran perbedaan dapat diterima sebagai potensi. Indonesia yang madani, lantaran kebebasan berekspresi dijunjung tinggi.

Bahwa Gus Dur mewakili pencitraan reputasi yang seperti tak tersentuh, karena ia punya pakem sendiri , itu hal wajar. Dalam sejarah, figur berkarakter selalu lahir, dan pada akhirnya dapat mewarnai dunia. Pun saat Indonesia ‘jengah’ pada Gus Dur. Pun saat Indonesia ‘tak dapat mengerti’ Gus Dur. Pun saat Indonesia sangat kehilangan Gus Dur.

Dedikasi Gus Dur ada pada keadilan sosial. Karena sekali lagi, keadilan sosial merepresentasikan nilai-nilai keislaman. Sementara itu, keadilan sosial salah satunya dapat dicapai karena pengakuan atas potensi lain, juga masyarakat yang saling percaya.

Barangkali, tak akan cukup kata untuk Gus Dur. Semoga ia diberi tempat terbaik oleh Allah Swt. Amin.

“Saiki, aku wis ga iso ngundang awakmu Kang meneh,” keluh Gus Mus suatu ketika.
Dan dunia telah menjawab polah tingkah Gus Dur, seutuhnya.

Solo, 12 Januari 2010

Tidak ada komentar: