Selasa, 31 Agustus 2010

Hitam


Aku pernah bercerita pada seorang kawan tentang screening LK 1 HMI yang berbeda dari biasanya. Waktu itu, aku berhadapan dengan calon peserta yang mualaf. Ketika memilih untuk menjadi Muslimah, ia tak didukung oleh semua anggota keluarganya. Dia juga berniat belajar Islam serius di sini. Ia tak cukup alasan, mengapa harus komunitas ini yang ia pilih. Ia hanya diajak teman, dan ia beranggapan, bahwa ini mungkin pilihan yang tepat.

Aku sempat bertanya padanya tentang siapa yang mengajarinya ilmu keislaman selama ini. Katanya, kakak-kakak mentor di fakultaslah yang rajin mengawalnya memahami Islam. Aku dan kawanku langsung menjura dan bertepuk tangan, “Hebat… hebat.” Kompak kita bilang, kalau kakak-kakak mentor itu berjasa besar pada Islam, dan itu riil, tak lagi konseptual.

Sejak itu, setiap kali berpapasan sama cewe kerudung besar yang naik sepeda berkeranjang, kita pasti menyapanya dengan muka semanis mungkin, “Halo kakak mentor….” Dalam hati yang paling dalam, sepertinya, aku dan temanku memang simpati berat pada mereka, tanpa perlu sangkalan berarti.

Agak mirip, suatu ketika, seorang kawan pernah berkirim tulisan padaku tentang hidayah, “Seandainya teman dekat kita punya ‘dunia hitam’, trus orangnya superkeras hatinya alias susah diomongin, apa yang bisa kita lakukan untuk menolongnya?”

Ketika itu pula, bergegas, aku jawab dengan sangat bersemangat. Rasanya, aku sedang mirip kakak-kakak mentor yang sedang parkir sepeda keranjang, eh… maksudku, transformasi nilai-nilai keagamaan tanpa tendensi pribadi. Mereka sangat bahagia bila ilmu agama yang mereka yakini bisa disampaikan kepada orang lain, meski kadang agak susah. Ya, butuh kesabaran ekstra dan kerendahan hati yang luar biasa.

Aku mulai berkhotbah. Pertama, in depth version. Pada awalnya, perlu diperkarakan tentang ‘hitam’. Bagi ilmuwan, warna hitam diasosiasikan sebagai ilmu. Makanya, tinta hitam adalah sarana untuk menegaskan bahwa hitam sarat dengan kesan kepintaran dan kedalaman pikir.

Bagi agamawan, hitam dipersepsikan sebagai keseimbangan dunia. Andai tak ada hitam, mungkin putih tak akan beridentitas. (Ingat iklan no black no game?) Walau Rasulullah berkulit putih, hajar aswad atau Kakbah berwarna hitam. Bilal bin Rabah yang hitam pernah dibaiat sebagai gubernur ketika terjadi kekosongan kepemimpinan di Madinah. Meski bertubuh gelap-kelam, menurut para sahabat, ia adalah manusia berhati putih.

Di sisi lain, bagi kaum moralis karbitan, hitam dianggap sebagai simbol keburukan dan keangkaramurkaan. Hitam diidentikkan dengan hal-hal kotor, jorok, dan menjijikkan.

Entah…. Barangkali, filosofi warna memang bukan perkara mudah. Putih lebih dipilih lantaran semburat kilau cahayanya yang lebih dominan, atau mungkin ia dominan karena kesan suci verbal dengan penisbahan hitam yang identik dengan kekasaran dan hal-hal yang kasar.

Atau … sebenarnya, ini hanya persoalan sentimen ‘keindahan bikinan’, yaitu keindahan yang direka-reka untuk menegaskan dominasi kelompok tertentu. Artinya, ‘dunia hitam’ bukan karsa yang tiba-tiba ada. Ada penilaian yang terburu-buru tentang ketaatan seseorang pada hukum tertentu tanpa menelaah klausulnya. Ia hitam karena benar-benar hitam, atau hitam lantaran ‘dihitamkan’, atau sedang ‘menghitamkan’ diri, atau bahkan sebenarnya, hanya tampak ‘kehitam-hitaman’.

Seseorang tidak akan menikmati perilaku tertentu tanpa adanya penciptaan atau rekayasa pola. Setidaknya, kita tahu kalau perilaku itu memang sengaja dilakukan; pun dengan sadar dan tanpa keberatan yang berarti. Ya, ia bersebab.

Selanjutnya, parameter atau indikator penilaian tentang hitam harus dikriteriakan. Ia hitam karena memilih untuk berperilaku hitam. Atau, ia hitam karena dinilai orang sebagai hitam. Atau, ia hanya berpura-pura hitam. Atau, semua itu salah. Ya, sebenarnya ia hanya kelihatan hitam; tak benar-benar hitam.

Terakhir, nurani paling tahu jawabnya.

Kedua, practice version. Pertama, sayangi dia apa adanya, tanpa ada kesan kuat kalau dia sedang bersalah. Sebab, tidak ada yang abadi di dunia ini. Artinya, pendosa tidak selamanya menjadi pendosa. Kedua, beri contoh berperilaku baik yang layak tiru, menenangkan, dan logis-berguna. Ketiga, kita tidak sedang menolongnya, tapi menyampaikan hal yang baik menurut kita. Terakhir, berdoa agar dia kebanjiran hidayah.

Aku kutip juga telaah Blog Ghufron. Web log tempat curhat aktivis tarbiyah seantero Indonesia ini sering membahas pernik-pernik muda di kalangan ikhwan-akhawat yang mendamba keselarasan materi dan ukhrawi, kebersamaan syar’i dan dinamika masyarakat, juga gaul dengan tetap ingat pada jalur-jalur Allah.

Solo, 13 Oktober 2006

Tidak ada komentar: