Sabtu, 29 Agustus 2009

Mengawal Generasi Muda Era Teror


Mereka terperangkap dari jerat situasi
Kreasi Bapakku yang trauma revolusi

Mereka jadi korban keadaan frustrasi

Kecewa marah-marah, mendobrak tembok tradisi
....

Tiada hari tanpa pemberitaan terorisme. Suatu ketika, tampak di layar kaca aksi-aksi penggerebekan Densus 88, yang mirip film-film action produksi Hollywood. Pada saat yang lain, disajikan pengawalan pesakitan tersangka teror yang kepalanya telah tertutup rapat, berikut baju khusus yang menandakan bahwa ia memang penjahat paling diburu. Tak kalah atraktif, para polisi yang mengawalnya juga tampak stylist, berkacamata hitam, kostum modis, plus senjata lengkap berstandar internasional.

Publik Indonesia mengharu biru. Rekaman bom bunuh diri di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot berulang kali ditayangkan. Beriring trauma berkepanjangan para korban, juga citra buruk anggota keluarga para tersangka teror, kelompok-kelompok yang merasa tahu pun berspekulasi atas situasi. Terkadang, bendera organ dan teriakan juga dikumandangkan menyusul dukungan atau penolakan aksi pengeboman yang katanya, atas nama Tuhan itu.

Semua terjadi begitu cepat dengan kompleksitas data yang semakin meluber, melibatkan banyak pihak. Semakin data baru ditemukan dan dikonfrontasikan kebenarannya, semakin meninggi pula kekhawatiran publik tentang Indonesia yang ternyata dikecamuki teror terencana, tapi laten.

‘Calon Pengantin’ dari Generasi Muda
Belakangan, respons media mulai melibatkan praduga tentang rawannya kalangan muda akan rekrutmen jaringan pelaku teror. Banyak disebutkan bahwa ‘Calon Pengantin’, istilah untuk calon pelaku bom bunuh diri, didominasi oleh generasi muda. Mereka dahulu adalah anak-anak manis yang taat beribadah, pandai bergaul, dan berprestasi dalam sekolah. Kabarnya, semangat mereka yang tinggi untuk beraktualisasi, berhasil dibelokkan menjadi ‘aksi perlawanan’ berbuah surga.

Modus ini kemudian dilengkapi dengan beberapa data di luar negeri seputar rekrutmen anak-anak muda di berbagai negara oleh jaringan teror internasional, yang konon sukses, karena motif belitan kemiskinan. Terorisme kemudian menemukan arus besarnya, saat didukung oleh anak-anak muda yang berani mati, untuk tujuan keabadian, seperti yang diujarkan pendahulu-pendahulu mereka.

Betapa lantas publik menjadi semakin tahu. Bahwa ternyata, banyak keluarga bermasalah di negeri ini. Faktanya, anggota keluarga tidak tahu-menahu seputar aktivitas ‘para pengantin’. Betapa banyak anak-anak pintar yang seperti tak menemui miliunya. Beberapa dari mereka digiring pada janji-janji keabadian, mengalahkan keharmonisan keluarganya selama ini. Betapa kepedulian sesama masyarakat telah banyak menurun. Siapa sangka, tetangga yang tampak baik itu ternyata adalah perencana atau peracik bom kelas wahid.

Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Generasi muda berkualitas yang berempati tinggi kepada sesamanya sangat menentukan kedamaian republik di masa depan. Bila pendampingan generasi penerus tidak diprioritaskan, bahkan telah rusak perisai norma-norma keluarganya, entah apa yang lantas akan terjadi. Sungguh sulit dan menyisakan sesal yang amat.

Bukan Modus Baru
Bila dirunut agak jauh, modus melibatkan anak-anak muda yang bersemangat tapi labil memang sering terjadi. Sejak dulu, kalangan muda sangat reaktif pada kondisi, dengan penjelasan yang terkadang, agitatif dan provokatif. Kesan heroik menggejala kuat, pertanda energi mereka yang dapat didesain meledak-ledak.

Sedikit data ditulis Tim Weiner, reporter The New York Times, pemenang Pulitzer, dalam buku international best seller-nya berjudul ‘Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya’. Setidaknya, untuk ukuran dunia, badan intelijen kebanggaan Amerika Serikat itu dapat dijadikan referensi seputar praktik-praktik penguasaan negara lain, berbasis informasi dari agen-agen yang mereka rekrut dan latih.

Dalam buku yang dicetak tahun 2008 itu, Weiner mengemukakan banyak dokumentasi yang ia susun dari 50.000 arsip CIA, hasil wawancara ratusan agen CIA, dan pengakuan sepuluh direkturnya. Sebagian meragukan kelengkapan data Weiner, dengan alasan hanya menyentuh permukaan. Sebagian yang lain merasa perlu untuk tetap mempelajarinya sebagai rujukan.

Weiner menulis rekam jejak Frank Wisner, Kepala Operasi Rahasia CIA, tahun 1952. Ketika itu, ia merencanakan sebuah serangan rahasia besar terhadap Uni Soviet yang ditujukan pada jantung sistem kontrol komunis. Marshall Plan (Program Pemulihan Eropa) pun diubah menjadi pakta-pakta yang menyediakan senjata bagi sekutu Amerika.

CIA mempersenjatai pasukan-pasukan cadangan rahasia untuk memerangi tentara Soviet di seluruh Eropa. Anak buahnya menjatuhkan emas batangan ke beberapa danau, juga mengubur berpeti-peti senjata di pegunungan dan hutan Skandinavia, Prancis, Jerman, Italia, dan Yunani.

Khusus Jerman, CIA berhasil menggalang dukungan dari Young Germans, kelompok muda radikal yang didominasi anggota Hitler Youth. Daftar keanggotaannya bahkan membengkak hingga lebih dari 20.000. Mereka menggunakan senjata-senjata CIA, radio, kamera, dan uang. Parahnya, mereka juga membuat daftar panjang politikus demokratik arus utama Jerman Barat yang akan menjadi sasaran pembunuhan ketika saatnya tiba.

Keluarga Harmonis dan Religius
Kenyataan tentang terekrutnya generasi muda dalam jaringan teror semestinya menjadi kritik telak bagi semua keluarga di Indonesia. Apalagi sebenarnya, lantaran pengaruh pemberitaan teror yang bertubi-tubi, tanpa kepastian kapan semua itu berakhir, dapat membuat kalangan muda pesimis akan masa depan negeri ini, yang berarti juga masa depan mereka. Repotnya, mereka kemudian dibesarkan dalam suasana mencekam, akibat teror yang laten.

Bait lirik lagu di awal tulisan karya Slank, sebuah band kenamaan Indonesia yang memiliki sense of crisis tinggi, dapat membuat siapa pun berpikir tentang pentingnya membangun keluarga yang harmonis dan religius. Pesan yang ingin disampaikan Slank bermuara pada keseriusan para orang tua untuk mengasihi anak-anaknya pada kadar semestinya. Sebab, tanpa itu, anak akan besar menjadi sosok liar, yang sulit ditengarai maksud dan aktivitas hariannya.

Sementara itu, religiusitas adalah bekal inti. Dengan ilmu agama yang cukup, perintah Tuhan agar manusia menebar rahmat ke seluruh alam, akan mendarah daging dalam hari-hari sang anak. Sebaliknya, bila para orang tua tak lagi memedulikan pendidikan agama anak-anaknya, tragedi demi tragedi akan terus terjadi, hanya lantaran tafsir Kitab Suci yang seringnya, masih sepotong-sepotong. Semoga negeri ini segera entas dari nuansa teror yang jelas sangat tidak diridhai-Nya. Wallahu a’lam bi shawab.

Minggu, 26 April 2009

Dulu dan Kini


“Kalo cowo pinter ketemu cewe pinter, jadinya romantika. Kalo cowo pinter ketemu cewe bodo, yang ada si cewe hamil. Kalo cowo bodo ketemu cewe pinter, terjadilah perselingkuhan. Nah, kalo cowo bodo ketemu cewe bodo, mereka pasti menikah.”

Aku tersenyum. Bukan hanya karena kalimat anekdot pernikahan yang struktur kalimatnya ingin sebanding dengan klasifikasi manusianya Al-Ghazali itu. Aku tersenyum, juga lantaran ketakutan baruku pada perilakuku yang sepertinya tak lagi aku minati kebenarannya.

Belakangan, aku seperti kelu berurusan dengan kriteria norma yang semakin terasa rigid. Aku mendadak tidak ramah pada nilai-nilai yang selama ini aku pegang teguhi itu. Kini, aku berusaha keras menegoisasinya. Aku ingin agak lumer dan menganggap semua nilai itu bisa saja ditafsir ulang; semacam pembenaran ekstra atas keraguanku.


Aku tak tahu, gelagat apa lagi yang tengah berusaha keras merasukiku. Mengapa aku mulai melirik kesimpulan bahwa menikah adalah tindakan bodoh? Meski tentu tidak lantas mengamininya, tapi aku butuh runutan berpikir itu, yang agaknya, terasa kontekstual. Ya, aku tak lagi dapat menemukan keberbanding-lurusan antara kebenaran nilai pernikahan dengan kenyataan tentang pernikahan. Aku mulai merasa, ada cara lain untuk memaknai hubungan spesial yang kata orang, sangat menghabiskan semua hal itu.

Dulu, aku bisa tersungging sinis kalau ada yang menawariku produk KFC, Pizza Hut, atau sejenisnya. Jelas aku punya serentet alasan ideologis hingga teknis. Saking keras kepalanya, bahkan ibuku sempat memberiku saran ketat, “Jadi orang jangan terlalu fanatik.” Miris juga kalau kemudian, selasar doktrin tentang kemandirian bangsa ternyata seperti tak berbanding lurus dengan ridha orang tua seputar kefanatikan. Meski aku juga tak sempat menghubungkan ini dengan perlawanan Nabi Nuh as. pada orang tuanya, pembuat berhala. Ya, aku tetap menganggap, bertradisi makanan transnasional itu tidak keluar dari iman dan Islam. Artinya, aku hanya keberatan atasnya.

Dulu, aku punya cara berbeda menerjemahkan hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan. Atau sebutlah itu, pacaran dan sejenisnya. Pertama, semua ketertarikan seriusku pada perempuan selalu beriring misi sosial. Aku berkesimpulan, akan bisa berbuat banyak pada sesama bila bersama sang cewe. Agak berbangga, agenda-agenda berkunjung ke panti asuhan atau berpikir kemanusiaan sering mewarnai hari-hariku. Senang rasanya menemani seorang cantik yang sangat dicintai orang-orang kurang.

Kedua, hubungan yang terjalin tak pernah menampak formal. Mirip logika Lyotard di film Matrix. Antara ada dan tiada, kata Utopia. Sesekali aku muncul di kediaman, dengan sajian senyum dan servis yang menurutku, paling baik. Pada kali yang lain, aku tak pernah menyapa mereka, karena bermacam alasan sok moralis, seputar agenda-agenda perubahan sosial. Aku sering merasa tak cukup waktu membahagiakan mereka. Tapi terkadang, aku merayah payah, pertanda sebenarnya aku tak pernah mau ditinggalkan. Aku tahu, itu egoisme yang sangat, bernama ‘mau enaknya sendiri’.

Ketiga, selalu ada cara indah untuk mempertahankan kebersamaan. Aku pernah diundang makan bersama, hanya karena ada acara, pamer sayur asem. Beberapa orang tahu, aku begitu menikmati sayur-sayur bernuansa bening. Walau acara makannya bareng-bareng, aku merasa tersanjung. Ada lagi, seorang dari mereka berbangga lantaran berani naik kereta Pramex sendirian, hanya karena ia ingin dianggap dewasa. Ada juga yang mengirimiku buku harian, karena ia tak ingin aku menulis di sembarang tempat. Sekali lagi, seperti ada mahkota Hayam Wuruk di kepalaku.

Keempat, saling kagum menjadi pengikat. Setiap kali bersama mereka, reputasiku naik tak tanggung-tanggung. Setidaknya, aku akan dianggap sebagai seorang waras yang mengerti banyak hal dan banyak orang. Sejauh yang aku tahu, mereka selalu mengabarkan kekaguman mereka atasku pada siapa pun, meski aku juga tahu, mereka terlalu berhati-hati. Artinya, cerita baik itu bukan karena aku benar-benar baik, tapi lantaran mereka tak ingin menyakitiku. Jelas aku juga bertingkah serupa, sekuatku. Aku mengagumi mereka, sebanding dengan semua pembenaranku atas perilaku mereka. Termasuk saat semuanya memilih untuk meninggalkanku. Klasik!!

Dulu, aku selalu menomorduakan gaya hidup. Dedikasilah yang pertama. Aku tak akan rela keluar banyak uang untuk prestise, hingga orang-orang mengira bahwa aku punya kualifikasi ekstra di atas mereka. Termasuk bahwa aku tak ingin dianggap berbeda, bila kemudian membelanjakan banyak uangku untuk membeli buku. Aku juga tak melegal-gampangkan nonton film di bioskop, hanya karena menurutku, tak baik mengamini kecenderungan hedon. Bukan berarti aku tak suka menonton film. Aku ingin memaksa diriku untuk tak segampang itu mengikuti insting keinginanku. Yang parah, hingga kini, aku tak pernah punya selera khusus atas pakaian, baju, atau cara menikmati hidup.

Dulu dan sekarang. Mengapa aku menjadi sangat antusias untuk membenturkan hari-hariku yang telah lewat, dengan hari-hariku kini? Seorang kawan yang pernah menemani hari-hari sulitku sering menjejalkan kekhawatiran menukik, bahwa semestinya aku tak membanding-bandingkan zaman, hanya karena hari ini terasa lebih sulit. Tentu tak baik, begitu katanya.

Benar, aku tidak sedang membanding-bandingkan masa lalu dan kini hanya untuk memilih siapa pemenangnya. Aku hanya ingin kritis pada diriku sendiri, dan berharap tidak tengah bersemangat mendudukkan cara pandangku dengan ukuran baru yang cenderung permisif. Sebab, itu oportunis. Tujuan menghalalkan cara, kata Macchiavelli. Ahistoris karena ingin mengulang zaman yang telah lewat di zaman ini. Karen Armstrong bilang, itu penyebab fundamentalisme.

Makna semua ini juga bukan tuntutan. Karena setahuku, hubungan yang baik adalah hubungan yang berprinsip, memberikan semua hal terbaik; bukan malah sebaliknya. Bila aku masih saja menginginkan banyak hal dari siapa pun, berarti aku tidak pernah belajar dari kesalahanku di masa lalu. Ya, aku belum siap berhubungan.

Bila pun pada kenyataannya aku sangat merindukan semua perbandingan itu untuk melengkapi jiwaku pada hari ini, artinya kadar kemanusiaanku masih ingin dimaklumi. Perilaku bermanusia berkategori ‘meratap’. Betapa aku masih sangat mencintai dunia. Bahwa aku tak ingin dikalahkan. Bahwa aku takut mati, sekaligus takut hidup. Sebab, hingga kini, aku masih saja ingin dimiliki… seutuhnya.

Senin, 13 April 2009

Laugh


Ternyata canggung juga mengutarakan banyak hal manis di kepalaku. Rasanya, kadar kemaskulinanku menurun drastis. Meski sebenarnya aku tergila-gila pada lawakan, untuk menjalani hari dengan paradoksi-paradoksi lucu itu, aku tak mampu. Benar, tertawa adalah pembalikan realitas atas sesuatu yang bisa jadi tak mungkin sebagai sarana menetralisasi kekurangan diri dan ketidakpuasan. Dengan tertawa, meski sementara, jalan terang untuk menyelesaikan persoalan akan lebih terbaca dengan jelas.

Umumnya, aku memang bercanda, tapi tak kurang dari cooling down-nya Kennedy sewaktu di bawah tekanan Pentagon. Ketika itu, Kennedy tengah berseteru dengan mereka perkara Krisis AS-Kuba yang akan memicu terjadinya perang dunia ke-3. Bagi Kennedy, tawaran Pentagon untuk menggelar invasi ke Kuba terlalu terburu-buru.

“Tuan Presiden, AS dalam bahaya. Kalau Anda tak segera bertindak, banyak orang AS akan mati. Tidak tahukah Anda bahwa Anda tengah terjepit?” Jenderal Le May, Kasau AS, bertanya dengan nada memaksa.

Gertakan ini bukan hanya tak enak didengar, tapi juga inkonstitusional. Semua tahu, Presiden adalah pemilik otoritas negara atas kebijakan perang. Dalam sistem presidensiil, ia adalah komandan tertinggi armada perang, di atas semua mesin tempur yang ada. Walau berstatus warga sipil, ia memiliki kewenangan untuk mengendalikan alat pembunuh massal milik AS yang sangat ditakuti dunia itu.

Dan Kennedy pun tersenyum. Ia pandangi wajah Jenderal yang baru saja mengancamnya. Tak ada tatap tajam kemarahan. Tak ada alis tinggi kegerahan. Tak ada bentakan keras kekecewaan. Tak ada mimik ketus peng-
under estimate-an. Sebaris kalimat penting menyelesaikan semuanya. “Apakah kau tidak sadar bahwa kau terjepit bersamaku.”

Simpel bukan? Bahkan Kennedy tidak sempat berpikir untuk memecat Jenderal Le May, walau sebenarnya ia bisa. Bahkan Kennedy tidak merasa perlu untuk menuntutnya, meski sebenarnya ia berhak. Bahkan Kennedy tidak ingin mengurangi rasa hormatnya, walau sebenarnya ia sangat pantas melakukannya.

Itu baru Kennedy, salah satu orang baik di ‘Negeri Pembunuh’ seperti AS. Bagaimana dengan Rasulullah Saw.?

Seorang nenek-nenek pernah bertanya kepada beliau, “Rasul apakah orang sepertiku akan masuk surga?”


Dengan tersenyum, Rasul menjawab, “Manusia seperti nenek, tidak akan masuk surga.”


Terang saja si nenek hancur hatinya. Ia merasa, semua ibadahnya selama ini menjadi tidak berguna. Perkataan ini bahkan keluar dari Nabi Allah, yang jelas terjaga kesahihannya. Sang nenek menangis tersedu-sedu.

Rasul pun kembali angkat bicara, “Nek, di surga kelak, semua orang akan sama. Di sana, mereka tidak muda juga tidak tua. Jadi, kalau nenek masuk surga, tidak dalam kondisi seperti ini.”


Si nenek kemudian lega.

Coba lihat, Rasul tidak serta-merta menjawab apa yang dimaui si nenek. Rasul jelas mengajarkan kepada umatnya bahwa ada cara yang lebih ningrat untuk berkelakar. Ia tidak hanya contoh yang baik dalam berkemanusiaan, tapi juga teladan yang berdedikasi untuk mengajarkan nilai, pun pada saat tertawa; pun pada seorang nenek.


Begitulah. Sepertinya, aku memang tak pandai melawak. Aku juga tak percaya diri dapat menyenangkan hati orang, turut menyelesaikan persoalan orang, untuk mengentaskan kesedihan orang, atau menjadi contoh yang baik dalam kesenangan. Bagiku, aku hanya ingin ekspresif, tanpa perlu untuk berpura-pura bahwa aku ingin dianggap pandai menghibur orang. Sederhana saja, aku juga sangat membutuhkan itu, bahkan mungkin, lebih dari yang dipikir dan dimaui orang lain.

Tapi, untuk berbuat sesuatu bagi orang lain, kalimat Kennedy yang lain menjadi penting. Ia mengatakan, “Meninggalkan pendapat sendiri ada amoralnya. Kita semua di sini karena merasa bahwa kita lebih mampu dari orang lain.”

Bukan tengah berbangga diri, tapi untuk melakukan hal terbaik memang harus terlebih dahulu meyakininya.
Di luar batas apa pun, aku hanya ingin menjadi yang terbaik. Misalnya, saat aku menjelaskan bahwa mengasihi itu bukan perkara sulit. Misalnya, saat aku mengaku bahwa aku membutuhkan kasih itu. Misalnya, aku perlu mendudukkan keduanya pada konteks yang tepat. Ya, kapan aku mengasihi, kapan aku dikasihi, dan kapan aku menjalani keduanya.

Satu lagi, percaya adalah hal penting.

Senin, 30 Maret 2009

Hendaknya


Aku terlalu nihil. Hidup terasa lebih sulit dengan kemapanan. Aku tak berusik lagi tentang banyak hal. Sepertinya, saat ini aku pun sudah tak mampu lagi untuk berharap. Tak lagi suka takjub pada interaksi alam. Interaksi yang memastikanku untuk berbagi eksistensi, bukan hanya untukku. Tak ingin bersemangat dalam memaknakan ketidakbermaknaan. Reses yang mungkin lebih sulit terasa ketimbang imajiku tentang pentingnya eksistensi. Aku merasa bahwa semuanya sudah usai, tak lagi menarik, dan tak lagi misterius. Semoga saja masih ada yang tersisa, apalagi kalau bukan tentang Tuhan.

Entah, aku berpikir kalau makrifatku prematur. Itu pertanda, aku memang belum makrifat. Maksudnya, I feel so good much. Mapan di atas semua hal yang pernah aku idam-idamkan selama ini. Semua seperti sangat jelas kasat matanya. Menurutku, semua bisa saja diukur. Aku sudah merasa sanggup untuk memetakan semuanya.


Jadi seakan, saat semua pikirku tak bersambut, aku pun sah menjadi kesatria ingusan. Ya, megalomania. Padahal, aku pun tak menolak bahwa kebesaran hanyalah milik persepsi publik, bukan dialektika yang direkayasa. Artinya, andai aku besar, itu kata publik, bukan karakter yang aku bikin, dengan sengaja. Aku didudukkan pada komitmen bermanusia, bahkan dengan keterlambatan sikap. Aku terlambat sadar bahwa aku telah terlambat. Pun aku sering mendalih guna melawan kehendak hati. Hanya itu yang aku punya. Pertarungan hakikiku lebih membuncah dan melesakkan semua kegamanganku dalam keberhentian. Aku merasa semua telah cukup, pasti, dan sangat meyakinkan.


Pfuh... kenapa hanya untuk mencercahkan spirit saja aku selalu menjegal semua ‘marahku’. Karena, marah adalah bentukan konsekuen atas logisnya kemampuan harap. Ketertarikan, kedaulatan, manuver, sensasi, atau ide dinamis menjadi semakin kabur beriring hawa nihilis yang lebih terlalu sering meyakinkanku. Mentok... !!!


Pun akhirnya, aku memohon pada diriku untuk kembali merintis semuanya. Ya, bahwa aku perlu untuk merintis semuanya, kembali. Ya, bahwa aku perlu untuk merasa perlu dan diperlukan. I feel so ugly now.…

Jumat, 20 Maret 2009

Buta Warnaku


Buta warna bukan penyakit. Banyak orang bilang, itu cacat. Bila penyakit bisa disembuhkan, cacat hanya bisa disiasati. Semacam upaya selektif untuk turut menikmati dunia, meski dengan fasilitas yang tak sempurna. Aku tak tahu persis, mulai kapan aku sadar bahwa aku… buta warna.

Semasa kelas 5 SD, aku pernah turut lomba murid teladan tingkat kabupaten. Aku senang bisa menceritakannya. Selain kemampuan akademis, para peserta lomba juga diwajibkan memiliki wawasan umum pilihan, kepekaan seni yang tak standar, dan kreativitas unik. Seingatku, meski tak menang di perlombaan itu, aku bisa mempersembahkan lampu flip-flop bikinanku sendiri.

Lampu flip-flop mirip lampu ‘awas hati-hati’ di jalan-jalan tertentu, dengan dua bulatan berwarna sama, tapi menyala bergantian. Ketika itu, aku merasa prakaryaku itu akan berhasil, meski dengan solder bekas dan timah yang diirit. Dengan bantuan seorang guru sabarku, ketika itu aku belajar memilih resistor dengan menghitung lingkar warna yang melilit tubuhnya. Untuk tujuan tertentu, kuantifikasi itu tak boleh meleset. Sebab, eksperimen pasti gagal. Pada skala besar, buatan pabrik memang lebih bagus kualitasnya. Tapi guruku ingin aku tahu betul, bagaimana pekerjaan itu dilakukan.

Nah, kalau aku bisa membedakan lingkar warna di tubuh resistor, berarti aku kan tidak buta warna? Aneh.

Sewaktu SMP, aku juga diapresiasi tinggi oleh guru elektroku. Pelajaran ini mensyaratkanku untuk tak salah memilih warna, selain hitungan berbau fisika. Kalau urusan PR, orang yang pertama kali beliau tanya pastilah aku. Bila aku tak ada masalah dengan PR yang ia berikan, berarti semua beres. Beliau tahu, seisi kelas biasa mencontek padaku.

Karena itulah aku memutuskan untuk masuk STM Otomotif. Selain bisa langsung berorientasi kerja, kabarnya sekolah itu tak banyak mengizinkan siswa-siswanya untuk hura-hura, tak seperti SMA kebanyakan. Faktanya, tes kesehatan memadamkanku. Mereka bilang, “Kamu buta warna separuh. Kalau diterusin, bisa-bisa kabel yang kamu sambung salah. Dan dhuar!!! Semua meledak,” jelas seorang guru pengetes dengan tertawa. Sebuah alasan yang masuk akal. Dengan sedih, aku pun bisa menerima kelemahanku itu.

Hikmahnya, aku kemudian banting stir ke SMA favorit di kota tempat aku tinggal. Tak seperti sekarang, dulu masa pendaftaran sekolah kejuruan seperti STM dan SMEA lebih dahulu daripada SMA. Jadi sangat memungkinkan bagiku untuk berpindah ke SMA saat tak diterima di STM. Toh, nilai kelulusan SMP-ku bisa memenuhi kualifikasi. Aku termasuk beruntung. Dari tempat tinggalku, hanya tiga orang siswa yang bersekolah di situ.

Pada satu kesempatan, guru biologiku memberi penjelasan sederhana, “Setiap manusia memiliki tiga tabung warna pokok di dalam matanya. Bila salah satunya rusak, bisa karena gen atau kecelakaan, maka ia tak bisa melihat warna dengan normal.” Belakangan aku juga pernah mendengar, kerbau dan buaya dikaruniai mata yang hanya bisa melihat dunia grayscale, hitam putih.

Setelah aku gagal tes masuk ujian perguruan tinggi negeri, sesuai arahan teman bapak, aku menuju Fakultas Geografi yang katanya terakreditasi A. Tapi, aku kembali gagal melewati tes kesehatan. Aku tetap saja buta warna separuh. Dokter ujinya bahkan kasihan melihatku kesulitan menjawab, warna apa yang tengah ia tunjuk.

Okelah. Barangkali Tuhan menciptakanku memang hanya untuk hitam dan putih, bukan banyak hal yang berwarna. Tuhan mengirimku agar aku berdiri tegak untuk hitam dan putih; baik dan buruk; benar dan salah.

Karena tak dapat menunjuk hijau dengan pasti, aku sangat kesulitan menerka kemakmuran ala bumi yang gemah ripah loh jinawi negeri ini. Aku hanya bisa membayangkannya dengan membangun konstruksi pikir tentang semua kebutuhan material yang selalu bisa didapat. Hijau buatku adalah saat semua kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan terpenuhi.

Karena tak bisa mendeteksi coklat, aku kebingungan menengarai kenikmatan hidup. Meski aku doyan cokelat, tapi setelahnya aku bisa mual. Aku bisa terbirit bila ada durian atau sop kambing yang kata beberapa orang adalah masakan terenak di dunia. Aku berusaha mengimbanginya dengan menelaah musik. Meski bermacam aliran, musik tak memaksaku untuk tepat warna. Stevie Wonder bahkan jadi maestro meski ia tuna netra.

Karena tak bisa meyakini warna pink, aku tak seromantis orang-orang kebanyakan. Aku terbeliak nyalang bila melihat fokus dan keseriusan, tapi tak berkutik di depan puisi. Aku menjadi optimis dengan rasionalisasi pikir, tapi minder berat kalau harus menyapa manis, atau menemani orang agar tak bosan. Aku mendamba masa depan dunia yang lebih baik, tapi merasa asing pada keindahan yang dimaksudkan orang.

Tapi sudahlah. Bila memang demikian, aku akan tetap meneruskan hidupku. Karena jelas tak serumit bayanganku tentang penyandang cacat tubuh sejak lahir yang lebih menyedihkan, atau pengidap kanker darah dan AIDS yang hanya menghitung mundur hari. Toh, Tuhan akan menilai seseorang dari tingkat ketakwaannya, termasuk cara hamba-Nya bersyukur atas semua pemberian-Nya.

Aku hanya perlu meminta maaf pada orang-orang di sekitarku, juga yang sangat aku ingini, bahwa aku bukan sosok normal yang bisa menjelaskan indahnya laut, gunung, langit dengan deskripsi warna utuh. Aku hanya perlu meminta permakluman seumur hidup pada orang-orang di sekitarku bahwa aku sosok linier rasional, yang hanya bisa menerjemahkan sesuatu karena bisa melogikakannya.

Barangkali aku bisa berlatih, atau berbuat seperti yang orang lain perbuat. Terkadang aku ingin pandai melawak di depan orang yang aku kagumi sampai matanya mengecil dan tak sadar bahwa aku telah menghabiskan lima cangkir teh. Terkadang aku ingin dirasuki kemesraan yang sangat, bersama orang-orang yang berharap padaku untuk bisa berperilaku umum. Terkadang aku mengimpikan kekonyolan ekstra yang menggugah kesadaran agar setiap orang yang mengenalku tak pesimis hidup bersamaku. Terkadang aku ingin berbuat kecil tapi menyejukkan untuk orang-orang yang membutuhkan kehadiranku.

Namun, berlatih yang aku maksud tak bisa menyembunyikan kecacatanku. Aku bisa saja mereka-reka keindahan yang diingini orang dengan imajinasi yang aku bangun atas keterangan orang atau buku yang pernah aku baca. Tapi aku tak akan sesempurna mereka yang benar-benar dikaruniai dengan… memahami warna penuh seluruh.

Mungkin saja, aku hanya butuh kepercayaan bahwa aku yang tak bisa mendeteksi dunia berwarna ini sebenarnya sangat ingin membahagiakan orang lain, meski tak akan benar-benar nyata seperti umumnya.

Setidaknya, aku akan selalu bisa memaklumi semua hal tak indah yang mampir di kehidupanku. Sebab, aku sadar, sebenarnya aku tak pernah benar-benar bisa menangkap keindahan yang dimaksud orang lain. Aku tahu dunia itu berwarna, tapi aku tak sanggup menunjuknya.

Sabtu, 24 Januari 2009

We Will Not Go Down


A blinding flash of white light

Lit up the sky over Gaza tonight

People running for cover

Not knowing whether they're dead or alive

Malam Minggu ini aku beruntung. Entah selip hikmah apa yang membuatku membetik ingin, mendengarkan lagu Michael Heart, We Will Not Go Down (Song for Gaza). Kemarin-kemarin aku hampir malas membicarakan Palestina, lantaran tak ada lagi yang bisa benar-benar kuperbuat untuk menganulir misil-misil F-16 Israel. Obama mania seperti tak peduli, bahkan merayakan selebrasi pelantikan Presiden AS dengan gegap gempita. Itu kan terhubung erat. Ridwan Saidi bilang, Barack Obama satu marga dengan Ehud Barak. Aduh, diagnosis sama-sama Yahudi ini makin bikin kepalaku belingsatan.

Seorang kawan meneleponku, khusus bicarakan konflik ini. Aku masih bisa bicarakan banyak hal, lantaran bicara dengan kawan dekat; suasana batinku pun terdukung. Tapi kalau terus-terusan membicarakannya, bisa-bisa aku tak tidur tiga hari. Kepala sesak, banyak alternatif langkah yang bisa diusulkan, tapi kelu karena semua hal itu tak ada gunanya. Setidaknya, mendingan sewaktu di komisariat dulu, yang masih bisa teriak-teriak di jalan, kalau AS-Israel gila-gilaan. Aku bahkan bertekad tak menyentuh produk-produk bisnis mereka.

Yang paling parah, aku semakin sadar, bahwa semua kekuatan aku punya—bahkan kadang aku membanggakannya—benar-benar tak bisa berbuat banyak. Semua terjadi begitu saja. Aku sangat tahu, banyak mayat mati sia-sia di negeriku sendiri. Westerling bahkan menggasak sekitar 40 ribu nyawa. Jutaan orang mati pada Revolusi Kemerdekaan juga Tragedi 1965. Setiap hari ada saja yang mati karena kurang makan, aborsi, praktik kriminal, ketidakadilan orang kaya atau negara, kecelakaan, trafficking, dan deretan kasus lagi yang tak terbaca. Aku lebih tahu kalau kemiskinan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan hidungku.

Tapi seharusnya tak harus memisah-misahkannya. Aku marah pada agresi Israel dan aku juga marah pada orang kaya yang tak mau peduli pada kere-kere di sekitarnya. Tak perlu menganggap di antaranya lebih penting. Toh seringnya, tak ada yang benar-benar bisa aku perbuat untuk semua itu.

They came with their tanks and their planes

With ravaging fiery flames

And nothing remains

Just a voice rising up in the smoky haze

Aku bilang ke kawanku, “Di dalam Al-Quran, hanya disebutkan kata Yahudi sekali saja. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk.” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)

Aku jelaskan, Yahudi itu kepercayaan. Ada Yahudi, ada bani Israil. Yahudi itu kepercayaan yang didakwahkan kepada bani Israil oleh Musa as. Bani Israil itu bangsa. Nah, belakangan, banyak salah tafsir yang memang dimobilisasi oleh manusia-manusia yang mengaku Yahudi, salah satunya. Menggelindinglah citra bahwa Yahudi sama dengan bani Israil atau Israel itu. Orang Israel merasa bahwa Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, dengan ‘Tanah yang Dijanjikan’. Sementara, orang-orang yang membenci Israel menganggap, semua Yahudi sama dengan Israel. Padahal, ada Yahudi yang tak setuju zionisme. Banyak juga bukan Israel, yang perilakunya seperti Israel.

We will not go down

In the night, without a fight

You can burn up our mosques and our homes and our schools

But our spirit will never die

We will not go down

In Gaza tonight

Bagiku, agresi Israel memetakan—istilah Hegel—keharusan sejarah. Ada pendakuan dan pengakuan, tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang tak bisa berbuat apa-apa. Kalau dulu, hubungan intim Israel-AS tampak samar-samar, kini dunia tahu, keduanya bermasalah. Dulu, Timur Tengah tampak sangat suci, sekarang mungkin, Kakbah menyesal diturunkan di sana. Dulu, Indonesia yang lemah di dunia internasional masih bisa dipelintir-pelintir; saat ini semua tahu, diplomasi menjadi bagian yang mubazir. Apa gunanya kecewa dan mengutuk Israel, kalo veto masih di AS? Buat apa berusaha mengakomodasi kemarahan rakyat dengan kaum Muslimin terbesar ini, tapi tak punya F-16 lebih dari 15 unit?

Dan… semua orang kota terus-terusan melahap produksi dagang pro-Israel: Coca-Cola, Huggies, River Island, McDonalds, Clinique, Disney, Donna Karan, Starbucks, GAP, Garnier, Perrier, Kotex, Sanex, JO Malone, Lancome, Libbys, Tchibo, Loreal, Marks & Spencer, Kleenex, Maybelline, Nestle, Vittel, Revlon, wonderbra.

Women and children alike

Murdered and massacred night after night

While the so-called leaders of countries afar

Debated on who's wrong or right

But their powerless words were in vain

Bahwa tak boleh ada yang bertekuk lutut pada keadaan seperti apa pun. Bahkan dengan korban nyawa lebih dari 3000 orang. Bahwa tak pantas menyerah pada kesulitan semisal apa pun. Bahwa pantang meringis untuk sesuatu yang jelas tak layak dihormati; apalagi menyembahnya.

And the bombs fell down like acid rain

But through the tears and the blood and the pain

You can still hear that voice through the smoky haze

Ya, we will not go down… selamanya!!

Jumat, 23 Januari 2009

Kaya


Sekali lagi, bayang-bayang masa depan kembali menggusur berserah diri dan rasionalisasiku tentang limit dunia-akhirat. Semua kembali menyeruak tak kompromi, bahkan tanpa sempat aku gelisahkan ulang. Bombardir seriusnya melesakkan ketidakmampuanku dalam menggusur mental ketidakmampuan yang selama ini terlalu betah nangkring di otakku. Prinsip, terasa sangat prinsipiil. Logis, sangat mengoyak, dan seperti perlu untuk mengeksekusiku pelan-pelan tapi juga sangat pasti. Aku dibawa sepantaran, bahwa aku perlu naikkan bargain spekulasiku, memilih atau pecundang; selamanya.

Kalau aku pusing soal kebelumsiapanku menyentuh hari esok, barangkali itu bukan hal baru. Ia adalah persoalan kecil yang terasa besar karena memang belum terjamah. Semua hal terasa rumit dan aneh. Penasaran dan menawarkan kerja ekstra. Tak sesekali pula menyusup keraguan. Ya, aku selalu ragu. Entah karena faktor kalkulasiku atau memang niscayanya keraguan. Sebab, tak ada yang pasti kecuali ketidakpastian itu. Yang tidak meragukan adalah ketidakraguan itu, begitu kata Al-Ghazali. Ada saat bahkan aku ingin menghilang. Tak bersentuhan sama sekali. Purna.

Masa depan memang menuntut banyak hal. Dan sebenarnya, bukan kalkulasiku yang matematis atau mungkin sekadar bicara opportunity an sich. Sebab, aku yakin, sampai kapan pun, aku tak akan sanggup menyelesaikan hitunganku tentang cita-cita dunia atau bahkan semua hal tentang surga, dan efek dunia buat surga atau… apa sajalah. Semua cepat berujung dan sangat bisa dikriteriakan meski tak sedetail mungkin. Setidaknya, masa depan versi umum sudah cukup menjawab kejengahanku akan quo-nya masyarakat, kondisi masyarakat yang aku maksudkan; terlalu evolutif.

Aku lebih mempersoalkan kemampuan maknawiku dalam kuantitas; dalam berhitungku. Sedapat itukah semuanya kupahami seiring kalkulasiku tentang hidup. Artinya, aku perlu untuk sinergikan semua ukuranku dengan makna. Persepsiku perlu konvergen dengan materialisasi pikir yang mungkin terlalu sekuler untuk diperdebatkan. Agar, tentu saja, aku bisa lebih memaknai kehakikian dunia yang terang-terang... hanya sebentar.

Entah, agaknya hanya persoalan kebingungan sesaat. Galau yang butuh sentuhan baru. Sensasi, hal baru atau mungkin, sekadar modifikasi sayang.

Belakangan, aku pusing memetakan target. Hal yang akan kucapai pada bulan-bulan terakhir. Target tentang kaya dan kebahagiaan… bersamaan.

Selasa, 13 Januari 2009

(Seperti) Tak Umum


Mengingat keluarga selalu dramatis. Ingat sewaktu harus bernegoisasi tentang cita-cita, sedikit merajuk, menuntut kebebasan, bahkan dengan predikat ‘terserah’. Ingat bahwa hubungan keluarga memang sakral. Ya, tanpa harus dibicarakan, hubungan orang tua dan anak seperti udara; hubungan kakak dan adik itu seperti napas; dan hubungan keluarga itu seperti ada di bawah alam sadar. Ia berjalan tanpa kontrol yang memadai; keabsolutan tanpa perlu bergerilia epistemologi; jauh dari tampak rasionalitas; menyelisik tanpa ampun untuk berujar bahwa ‘dinasti’ itu sebuah keharusan.

Kenangan yang kadang melansir ingatanku pada perlunya pijakan hidup. Sebab, kekangan hasrat itu memang tendensius. Aku perlu membangun kesadaran pikirku dengan pijakan hidup, prinsip, dan keyakinan. Aku perlu pijakan itu untuk identitas, kelebihan peran, bekal bergerak, keinginan besar, plus masa depan. Itu keakuanku. Meski tak begitu fantastis, tak terpikir juga, kalau lantas, pada fase selanjutnya, ternyata aku lebih mampu untuk memahami hidup. Aku sadar sepenuhnya justru karena aku beranggapan bahwa eksistensi itu harus dimanifestasikan dengan menahan hasrat ingin ketemu. Karena, itulah prasyarat kedewasaan. Akhirnya, semua bisa aku dapatkan. Bahkan, aku sempat berpikir, kalau perlu, hasrat dimatikan. Meski kadang, aku sempat berpikir juga, kalau jangan-jangan aku sudah mati rasa dan tiba-tiba menjadi tak berperasaan hanya gara-gara, bagiku, rasa itu perlu dimatikan.

Aku berpersepsi, kalau saja aku tak sanggup kondisikan perasaanku, berarti aku masih sangat bergantung; tak eksis. Tandanya, aku belum dewasa dan masih berpikiran orang kebanyakan. Mesti pacaran, mesti ngapel, mesti kasih hadiah, mesti telepon-teleponan, mesti bohong hanya karena aku butuh sensasi, dan seabrek aktivitas parsial lain yang tak idealistis. Susah, kalau eksistensi yang sama malahan melahirkan banyak strata eksistensi. Pola kebanyakan memang perlu untuk dibongkar keabsahannya. Apalagi kalau bukan tentang emansipasi pikir yang bukan feodalistis. Perlu distribusi keyakinan yang berlandasan; tidak turun-temurun dan menerima apa adanya.

Heh, bagaimana kalau saja perasaanku terlalu cepat mati? Sebab, aku juga tak sanggup kalau selamanya dianggap aneh. Ah, terlalu berlebihan.

Kamis, 08 Januari 2009

PARAMETER


Jadi orang memang susah. Waktu coba berontak semua hal yang menurutku sangat membingungkan di dunia ini, ada yang mengatakan, aku terlalu ‘kemaruk’. Bahkan, ada yang yakin kalau aku kufur nikmat; tak bersyukur. Di waktu yang lain, kalau aku lantas menerima apa adanya, nrima ing pandum, taken for granted; stempel yang kemudian ada, aku disebut apatis, fatalis, atau malah jabariyah. Lebih jauh, aku dianggap tidak revolusioner.

Seperti biasa, aku lantas menjadi sangat kebingungan. Aku seperti ada dalam dua kekuatan besar yang sangat bersemangat untuk berhadap-hadapan. Antara memilih takdir dan menebak takdir; antara eksistensialis dan pragmatis; antara teosentris dan antroposentris; antara aku dan mereka; antara personal dan masyarakat; antara kesalehan dan kemusyrikan.

Paling-paling, untuk menyelesaikan persoalan ini, ujungnya, menurutku, semua tergantung proporsi yang akan kubangun. Tapi, biasanya, muncul pertanyaan serius lanjutan. Lantas bagaimana standardisasinya? Waduh, dengan kekalahan telak, aku pun akan kebingungan untuk kedua kalinya.

Kalau parameter hasil bikinan personal sih ada, hanya, apa itu benar-benar objektif? Subjektif; itu klaimnya. Sebab, aku juga selalu meragukan semuanya termasuk kesubjektivitasanku berpikir. Sebab, selama ini, aku juga selalu berpijak pada relativitas berpikirku. Semua sangat relatif buatku. Hingga kini, aku masih meyakininya. Artinya, kedinamisan adalah hal nyata yang tak dapat disangkal apalagi disalahkan. Sebagai sebuah hal yang niscaya, untuk merunutkan dan merumuskan banyak hal tentang dunia ini, aku perlu untuk mengkover semua hal termasuk mengesahkan keraguanku yang bahkan, sering meliarkan kekuatan pikirku tentang apa pun.

Biasanya, kalau kemudian ada yang bertanya tentang parameter pikirku, kalau aku tak kebingungan, aku pasti akan percaya diri untuk mengumbar parameterku sendiri. Aku selalu percaya diri untuk membentuk persepsiku tentang apa pun dan kapan pun. Sebab, dunia ini terbentuk karena persepsi. Kalau terminologinya menarik, itu karena aku berani untuk mengungkapkan bahwa persepsiku tentang sesuatu itu memang menarik. Apa pun motif persepsiku atau pengaruh dari luar pikirku, aku akan selalu berusaha untuk memunculkan persepsiku itu pure dariku.

Nah, kalau lantas ada yang beranggapan bahwa kufur itu tak bersyukur, bagaimana dengan orang-orang yang tiap saat tak pernah merasa puas berpikir? Ia haus ilmu, bahkan gila ilmu. Apakah itu juga kufur? Apakah aku juga selalu bicara parameter? Berarti, apakah aku terlalu pilih-pilih dan suka membanding-bandingkan? Apakah aku juga terlalu rakus? Berarti, apakah aku terlalu ingin berkuasa dan bebas memilih? Apakah ....

Ah, parameter itu sulit.