Selasa, 31 Agustus 2010

Percaya


“Smart! Husnuzon is the best choice….”

Jeger!!! SMS penting mengguyur sejuk nafsu kalkulasiku yang hampir tak bisa bernapas. Lumayan… kalimat ini mampir setelah aku harus yakin bahwa aku memang tak boleh banyak berharap pada siapa pun dan apa pun. Hem… dulu, aku pernah berfalsafah bahwa berharap adalah setengah pecundang. Waktu itu, seorang kawan menenteramkan batinku kalau berharap itu tetap boleh, agar hidup ini terus berjalan. Baginya, tanpa harapan, manusia hanya akan larut pada realitas kekinian, tanpa mengindahkan masa depan. Aku berterima kasih padanya.

Cuma, bagiku, masa depan terjadi karena masa kini. Harapan adalah batas akhir kalkulasi kita yang dikondisikan ‘menunggu’ ketimbang menghadirkannya sebelum terjadi. Jadi, bagiku, harapan ada lantaran kita diharuskan memberi toleransi pada kalkulasi. Ya, itu jatah Allah. Harapan ada karena kita butuh bersandar pada Allah. Aku samakan ini dengan doa. Di luar itu, harapan di atas kalkulasi material tak perlu dibesar-besarkan. Sebab, kalau bukan kita sendiri yang berusaha menyelesaikan semua ingin dan resah kita, lantas siapa lagi? Kelak, semua kelakuan kita akan dipertanggungjawabkan di depan Allah… sendiri.

Oya, back to the SMS….

Setiap ketemu kata smart, aku pasti ingat Hughes, artis bertubuh subur yang dekat dengan anak-anak. Bff… serasa jadi anak-anak. Sepertinya, aku memang pantas terus-terusan dianggap anak-anak. Siapa sih, yang ngga pengin tiap saat diperlakukan dengan perhatian cukup, gemas yang tiada akhir, dan… selalu dirindukan.

Sebagai penganut professional scepticism dan dekonstruksi nilai, aku mungkin tak gampang percaya pada apa pun. Tapi, aku pun sering mendelik lantaran ada kasih yang tertahan, ingin yang meledak, care yang terkulum, tatap yang tersimpan, singgung yang tekernyit, sungging yang tercekat, atau juga… hasrat yang tersekat. Semua itu membesut semua logikaku ke atas kekuatan intuisi yang tak bisa lagi dibicarakan. Ia gampang selesai dan menenteramkan batin keruhku.

Keliru mungkin, bila lantas biasanya, aku terlalu jauh berprasangka atau terkesiap aroma ‘jangan-jangan’. Sebab, klausul semua itu harus material; bukan hanya kasat mata yang mungkin… itu juga bisa saja dimengerti. Namun, aku tak terlalu suka kepermisifan. Jadi, aku perlu negoisasikan kesan dan realitas idealku pada orang lain. Aku perlu kesepakatan atas nilai yang dipahami bersama. Setidaknya, aku sedang bertendensi kuat, tak boleh ada yang kecewa atau dirugikan kelak. Tak sederhana, tapi benar-benar menenteramkanku. Soalnya, aku pun tak melulu klasifikatif, stratifikatif, atau mungkin falsifikatif. Simpel saja, waktu aku kriteriakan prasangka, aku selalu mendamba kemanusiaan; ingin menjadi figur paling manusiawi. Aku selalu ingin menjadi orang suci di depan Allah… dan orang lain tak perlu tahu. (Wah, kalo dah ditulis… orang lain jadi tau dong) Sekali lagi, karena itu menenteramkan. Bukan yang lain.

Mungkin pula, manusia memang terlalu nisbi untuk merilis keperkasaan ‘ingat’ dan ‘sesal’. Maksudnya, manusia selalu dikungkung persepsi atas ingatan masa lalu yang seringnya malahan ingatan tentang sesal. Trauma atas kegagalan yang sering menyapanya. Sebab, dunia bisa saja begitu gerah untuk ukuran esok yang tak begitu diinginkan. Ya, aku menjadi sangat kecanduan untuk mengingat-ingat. Bila pun aku menikmatinya, sesalku tak pernah kunjung usai. Tiap prasangkaku beringsut bersanding dengan sesuatu yang pernah aku ingat dan sesalkan. Entah, aku selalu saja begitu. Menyiksa, tapi aku suka.

“Bahagia rasanya bisa mentok. There’s no hope anymore….”

Sebentar kemudian SMS timpalku melayang tanpa beban. Aku perlu perkenalkan ke semua orang bahwa mentoknya seseorang itu harus dianggap sebagai anugerah, bukan semata kekurangan tak terampuni. Setelah mentok, tak ada lagi kalkulasi yang tersisa. Semua menjadi jelas, tanpa perlu lagi untuk berprasangka. Kita hanya perlu mendesain masa depan tanpa perlu merasa diri kita buruk lantaran belum mentok. Ya, andai belum mentok, kita akan terus-terusan menyesal, knapa itu harus terjadi. Mentok adalah kesimpulan. Kesimpulan adalah pilihan. Pilihan adalah keberanian untuk tetap hidup. Mentok itu untuk memilih: what’s the next? Ada optimisme di sana.

Hmm, aku paksakan untuk tetap tersenyum. Aku tahu, semua harus tetap dilanjutkan.

Prambanan’s File at 13th Oct 2006
Sabtu, 21 Oktober 2006
08.22 WIB

Tidak ada komentar: