Selasa, 31 Agustus 2010

KESALEHAN


Banyak orang berargumen wajar tentang pembelaannya terhadap kaum sengsara. Bagi mereka, tak apa seperti lilin yang harus membakar dirinya, asalkan dapat menerangi kegelapan di sekitarnya. Bagi mereka, pilihan untuk turun melakukan pembelaan adalah sebentuk tanggung jawab, bahkan beralasan moral penuh. Bagi mereka, waktu, pikiran, dan energi habis untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat kekurangan di sekitarnya.

Bagaimana kalau sekarang kita ganti perspektifnya? Semisal dalam kasus Siti Nurbaya, siapa sebenarnya yang salah? Ada yang bilang, Datuk Maringgih-lah penyebab semua kekacauan itu. Ada yang menyalahkan Syamsul Bahri yang tidak dapat berbuat apa-apa, untuk menyelamatkan Siti Nurbaya. Ada juga yang menganggap orang tua Siti Nurbaya terlalu tega pada anaknya, hingga harus menebus utang-utangnya dengan sang anak. Ada lagi yang menyalahkan Siti Nurbaya, karena ia hanya bisa pasrah.

Bagiku, siapa pun dapat salah dan dapat juga benar, tergantung alasan mengapa ia memilih pilihan itu. Datuk Maringgih tentu salah bila berusaha keras, bahkan dengan muslihat, untuk mendapatkan Siti Nurbaya. Tapi, Datuk akan tampak benar, bila ia dapat memberi solusi singkat, terhadap semua utang-utang ayah Siti Nurbaya, karena belum tentu sang ayah bisa membayarnya.

Syamsul Bahri kelihatan salah bila hanya bisa ikut arus kondisi, tanpa ada tawaran solusi terhadap persoalan ini. Dan ia akan tampak benar, ketika ia sadar bahwa kekuatannya tak seberapa untuk menebus beratnya tanggungan utang itu. Ia tentu tak akan membawa lari Siti Nurbaya dan mengorbankan semuanya, hanya untuk cinta. Tentu saja, cinta tak akan bisa didapat dengan mengorbankan keluarga.

Ayah Siti Nurbaya bisa salah bila ia hanya mengambil jalan pintas, tanpa upaya keras mencari jalan keluar utang, bahkan mengorbankan anaknya. Namun, sang ayah akan dianggap benar, bila pada kenyataannya, semua utang tersebut memang diperuntukkan semua kebutuhan keluarganya. Sementara itu, Siti Nurbaya jelas salah bila ia bersikap tanpa alasan yang cukup sebagai bentuk identitas kebebasan memilihnya. Tapi, ia akan tampak bijaksana, bila semua itu dilakukan untuk pengabdian yang tak terkira pada keluarganya.

Nah, aku hanya ingin memberi poin penting tentang penentuan pilihan. Bila memang berbagi dan berjuang bersama orang-orang susah adalah pilihan, bukan lantas menempatkan seseorang sebagai sosok yang lebih bermoral atau setidaknya, menempatkannya pada strata sosial baru, dengan reputasi sosial lebih. Biarlah Tuhan yang mengambil peran itu. Biarlah publik yang menilai semuanya. Karena, yang penting, hanya harus berbuat banyak. Begitu pun, seseorang tak akan pernah merasa bahwa semua itu penuh dengan hasrat menahan diri, mengorbankan banyak hal, atau terasa seperti pilihan yang berat. Itu tandanya, ada persoalan dedikasi yang bermasalah. Berarti, ia tak benar-benar ada dalam alasan pilihan yang tepat.

Bahwa akan ada jenuh, marah, lelah, atau berlusin kebuntuan serius adalah hal wajar. Namun, kebahagiaan yang tak terkira adalah ketika semua langkah diambil berdasarkan keyakinan yang sangat... dengan alasan mendalam.

Nah, berurusan dengan persoalan pelik seputar peluang kesejahteraan petani yang tipis, pengangguran, kesempatan kerja, akses modal, monopoli, hingga efek moneter yang berdampak krisis, jelas dibutuhkan dedikasi. Maksudnya, persembahan diri kepada Tuhan untuk berbuat yang terbaik; tak peduli apa yang akan terjadi. Karena, kebahagiaan tentu berasal dari dalam diri, bukan karena citraan publik semata. Selebihnya, tak penting sebagai apa seseorang berbuat. Asalkan penuh dedikasi, itu sudah sangat membahagiakan diri.

Jakarta, 28 Januari 2008

Tidak ada komentar: