Kamis, 17 April 2008

Tunas Bangsa yang Dibajak


Paradise for me will be where there are neither paupers nor beggars, nor high, nor low, neither millionaire employers, nor half-starved employees, nor intoxicating drinks or drugs. Where there will be equal respect for all faith. (Mahatma Gandhi)

PROBLEM pendidikan signifikan hari ini adalah bagaimana menyelamatkan generasi penerus bangsa yang entah mengapa, lebih tertarik mengabdi kepada asing ketimbang leluhur dan tumpah darahnya. Sepertinya, telinga republik ini tak pernah kering disinggahi bermacam kisah tentang kesuksesan orang sebagai agen asing, dan tak lupa, menganggap diri mereka lebih tinggi dibanding kalangan sejawat yang mungkin, masih memilih untuk bertahan bersama setumpuk persoalan dalam negeri berikut gegap-gempitanya tuntutan diri seputar penyeimbangan idealisme dan kepentingan perut.

Sebagian dari mereka bahkan blak-blakan berkata bahwa Indonesia terlalu kompleks untuk dijadikan tempat beraktualisasi, di samping penghargaan terhadap mereka yang dinilai sangat jauh dari yang diinginkan. Ada kecenderungan opini tentang tidak kondusifnya negeri ini bagi orang-orang pandai. Katanya, politik terlalu dominan. Katanya, penduduknya sulit diatur. Katanya, terlalu banyak konflik berkepanjangan. Pun beribu komentar miring lainnya.

Padahal, pada beberapa hal, ketika benturan kepentingan terjadi, semisal citra Indonesia sebagai ladang teroris kemarin, tentu akan merepotkan aktualisasi mereka. Atau, beberapa program pesanan yang mengharuskan mereka untuk berinteraksi dengan penduduk negeri ini secara langsung, semisal gerakan penegakan demokrasi, ketika tidak kompatibel, tentu akan menuai friksi terbuka, lantaran ketidakharmonisan hubungan.

Meski harus diakui, ada sisi positif yang dapat diambil. Semisal, dapat disinyalir tegas bahwa sebenarnya, institusi pendidikan Indonesia memang layak diketengahkan di bursa aktualisasi dunia. Selepas bermacam kelemahan pendidikan yang hingga detik ini masih diperbincangkan, martabat bangsa mendadak tak pernah pudar lantaran prestasi anak-anak ibu pertiwi yang sering merajai pentas olimpiade fisika, kimia, matematika, bahkan sains dan teknologi. Beriring hinggapnya isu korupsi yang marak pada distribusi anggaran pendidikan, Indonesia juga memiliki banyak doktor, yang konon, banyak mengisi perguruan tinggi di negara serumpun, Malaysia.

Pun harus diakui jujur, bersama semua kelebihan itu, publik juga tak boleh menutup mata atas bermacam urusan pendidikan dalam negeri yang belum selesai, seperti peluang pendidikan bagi rakyat miskin yang semakin kecil lantaran biayanya yang terus melangit. Atau, banyaknya lulusan institusi pendidikan yang membludak, melebihi kesempatan kerja yang ada. Atau, anggaran pendidikan yang belum maksimal. Atau, tunjangan pendidik yang memprihatinkan.

Dilema Jaminan Kesejahteraan

Hal penting yang harus segera dipecahkan adalah tentang jaminan kesejahteraan yang terlalu minim di Indonesia. Tengok saja, bagi guru besar di Indonesia, tunjangan yang tidak mencapai Rp5 juta tentu memprihatinkan bila dibandingkan dengan Malaysia yang lebih dari Rp50 juta. Ada yang berkomentar nyinyir, “Pantas saja kalau profesor-profesor kita banyak yang masih wira-wiri ngamen ke sana-sini.”

Ironis tapi nyata. Membuat gelisah banyak pihak, tapi tak kunjung ada solusi. Ditambah lagi dengan kompetisi institusi pendidikan yang lebih mirip korporasi belakangan ini, peran kaum intelektual untuk berkonsentrasi pada aktualisasi diri semakin rumit. Setidaknya, mereka mungkin hanya akan melahirkan gerakan kecil, yang tentu akan lebih signifikan bila ditunjang dengan infrastruktur memadai.

Bagi para guru bangsa, tentu adalah hal naïf bila mereka harus banyak menuntut kesejahteraan dibandingkan pengabdian. Selain memang bukan itu tujuan mereka, ada idealisme suci yang terang-terang dapat membahagiakan mereka. Lihat saja, kisah tentang seorang guru di pelosok Nabire yang bahkan tidak mengenali Menteri Pendidikan di hadapannya. Ia hanya berpikir tentang sinerginya hutan dan sekolah. Itu saja. Atau, tentang sekolah Qaryah Thayyibah di Kalibening Tingkir Salatiga, yang sanggup memfasilitasi anak-anak miskin desa dengan internet.

Namun, dalam spektrum yang lebih luas, mengagendakan kesejahteraan mereka tentu merupakan bagian manajemen pendidikan untuk masa depan negeri ini. Sebab, telah nyata diketahui, bahwa lulusan-lulusan luar negeri, bahkan lulusan dalam negeri, justru merasa ngeri untuk mengabdikan diri di tanah air, lantaran jaminan kesejahteraan yang tidak memungkinkan bagi gagasan-gagasan besar mereka.

Bayangkan, bila kalangan yang mau mengabdi apa adanya bagi ibu pertiwi dapat dipertemukan dengan kaum ‘impor’ yang memiliki banyak penguasaan teknologi dan jaringan, tentu bangsa ini akan segera terlepas dari kerumitan persoalan besar. Artinya, mendudukkan perkara ini sebagai hal yang harus dipikirkan bersama tentu lebih bijak, ketimbang membeda-bedakan dua kelompok tersebut untuk dihadapkan. Betapa pada kenyataannya, dalam dan luar negeri memang perlu bersinergi, tentu dengan komitmen kuat untuk membangun negeri sendiri.

Apa Kabar Nasionalisme?

Sejauh ini, sudah selayaknya perlu dikemukakan kembali jati diri anak negeri sebagai bangsa. Artinya, seberapa pun dinamisnya realitas, setting goal tentang eksisnya bangsa tetap merupakan prioritas yang harus dikedepankan. Sebab, bagaimana mungkin bangsa ini bisa besar, bila tunas-tunasnya selalu dibajak kepentingan asing, hanya karena mungkin, akses dan komunikasi yang buntu? Bagaimana mungkin bangsa ini tidak didikte oleh bangsa lain bila generasi penerusnya masih gagu pada identitas kebangsaannya?

Logika sederhananya, kalau bukan anak bangsa yang memperjuangkan bangsanya, lantas siapa? Tentu saja bukan lantas bergerak pada penanaman identitas chauvinistis atau primordial. Sebab, cara pandang seperti ini juga bukan merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Harapan pastinya, semua kenyataan tentang rusaknya negeri adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan anak negeri. Jadi, secara pelan tapi pasti, sudah semestinya segera diselesaikan bersama-sama.

Beberapa kilasan sejarah dapat dikemukakan di sini. Barangkali, bila Hatta lebih menginginkan berkarir di Eropa, akan banyak tempat yang disediakan kaum borjuis di sana. Ketika itu, Hatta termasuk sosok yang diperhitungkan lantaran kebrilianannya. Namun, seperti yang diketahui bersama, Hatta akhirnya memilih untuk pulang ke Indonesia, dan bahkan, menyimpan hasratnya untuk memiliki sepatu yang ia idam-idamkan hingga kewafatannya.

Atau kisah seorang Sritua Arief, ekonom penganut neo-strukturalisme, yang gagasan-gagasannya sangat diterima di Malaysia, tapi lebih memilih untuk membesarkan beberapa mahasiswa di Solo dan Jogja, sebagai bentuk kefrustrasiannya pada utang luar negeri Indonesia yang terlalu besar dan rendahnya kredibilitas bangsa ini di depan kekuatan asing. Hingga maut menjemputnya, setelah diakrabi sakit stroke yang berkepanjangan, Sritua masih sempat berpesan, “Jangan pernah percaya dengan the borderless world.”

SEMUA ulasan ini tentu akan menjadi sangat sentimentil bila tidak segera disikapi lebih lanjut dengan tindakan nyata. Artinya, peran kalangan pendidikan bagi keberlangsungan bangsa ini di masa depan sangatlah ditunggu. Ketika banyak generasi cerdas ‘dibajak’ asing, sudah semestinya semua pihak merenung, berbicara, dan menuntaskannya, walau mungkin hasilnya nanti, tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

Komitmen keindonesiaan—salah satunya—masih ampuh untuk dijadikan pembenar bagi rukunnya jaringan pendidikan dalam dan luar negeri untuk berhadapan dengan gurita globalisasi yang semakin pintar memukul kalangan yang tidak siap berkompetisi. Biarlah sejarah republik ini terus mengalir dan bertemu dengan keberuntungannya. Bahwa memang, semua bangsa berhak untuk eksis di mata dunia. Bahwa memang, Indonesia sanggup menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain, dengan kepribadian bangsa yang kuat.

Tidak ada komentar: