Kamis, 17 April 2008

Kesalehan Adalah…

Banyak orang berargumen wajar tentang pembelaannya terhadap kaum sengsara. Bagi mereka, tak apa seperti lilin yang harus membakar dirinya, asalkan dapat menerangi kegelapan di sekitarnya. Bagi mereka, pilihan untuk turun melakukan pembelaan adalah sebentuk tanggung jawab, bahkan beralasan moral penuh. Bagi mereka, waktu, pikiran, dan energi habis untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat kekurangan di sekitarnya.

Bagaimana kalau sekarang kita ganti perspektifnya? Dalam kasus Siti Nurbaya, menurut kamu, siapa yang salah? Ada yang bilang, Datuk Maringgih-lah penyebab semua kekacauan itu. Ada yang menyalahkan Syamsul Bahri yang tidak dapat berbuat apa-apa, untuk menyelamatkan Siti Nurbaya. Ada juga yang menganggap orang tua Siti Nurbaya terlalu tega pada anaknya, hingga harus menebus utang-utangnya dengan sang anak. Ada lagi yang menyalahkan Siti Nurbaya, karena ia hanya bisa pasrah.

Bagiku, siapa pun dapat salah dan dapat juga benar, tergantung alasan mengapa ia memilih pilihan itu. Datuk Maringgih tentu salah bila berusaha keras, bahkan dengan muslihat, untuk mendapatkan Siti Nurbaya. Tapi, Datuk akan tampak benar, bila ia dapat memberi solusi singkat, terhadap semua utang-utang ayah Siti Nurbaya, karena belum tentu sang ayah bisa membayarnya. Syamsul Bahri kelihatan salah bila hanya bisa ikut arus kondisi, tanpa ada tawaran solusi terhadap persoalan ini. Dan ia akan tampak benar, ketika ia sadar bahwa kekuatannya tak seberapa untuk menebus beratnya tanggungan utang itu. Ia tentu tak akan membawa lari Siti Nurbaya dan mengorbankan semuanya, hanya untuk cinta. Tentu saja, cinta tak akan bisa didapat dengan mengorbankan keluarga.

Ayah Siti Nurbaya bisa salah bila ia hanya mengambil jalan pintas, tanpa upaya keras mencari jalan keluar utang, bahkan mengorbankan anaknya. Namun, sang ayah akan dianggap benar, bila pada kenyataannya, semua utang tersebut memang diperuntukkan semua kebutuhan keluarganya. Sementara itu, Siti Nurbaya jelas salah bila ia bersikap tanpa alasan yang cukup sebagai bentuk identitas kebebasan memilihnya. Tapi, ia akan tampak bijaksana, bila semua itu dilakukan untuk pengabdian yang tak terkira pada keluarganya.

Nah, aku hanya ingin memberi poin penting tentang penentuan pilihan. Bila memang berbagi dan berjuang bersama orang-orang susah adalah pilihan, bukan lantas menempatkan kita sebagai sosok yang lebih bermoral atau setidaknya, menempatkan kita pada strata sosial baru, dengan reputasi sosial lebih. Biarlah itu Tuhan yang ambil peran. Biarlah publik yang menilai semuanya. Karena, yang penting, kita harus berbuat banyak. Begitu pun, kita tak akan pernah merasa bahwa semua ini penuh dengan hasrat menahan diri, mengorbankan banyak hal, atau terasa seperti pilihan yang berat. Itu tandanya, ada persoalan dedikasi yang bermasalah. Berarti, kita tak benar-benar ada dalam alasan pilihan yang tepat.

Bahwa akan ada jenuh, marah, lelah, atau berlusin kebuntuan serius adalah hal wajar. Namun, kebahagiaan yang tak terkira adalah ketika semua langkah diambil berdasarkan keyakinan yang sangat... dengan alasan yang mendalam.

Nah, berurusan dengan persoalan pelik seputar peluang kesejahteraan petani yang tipis, pengangguran, kesempatan kerja, akses modal, monopoli, hingga efek moneter yang berdampak krisis, jelas dibutuhkan dedikasi. Maksudnya, persembahan diri kepada Tuhan untuk berbuat yang terbaik; tak peduli apa yang akan terjadi. Karena, kebahagiaan tentu berasal dari dalam diri kita, bukan karena citraan orang tentang kita. Selebihnya, tak penting sebagai apa kita berbuat. Asalkan penuh dedikasi, itu sudah sangat membahagiakan diri.

Selisik Aurat

Aku suka Frida Lidwina dan Wanda Hamidah. Mereka smart, punya dedikasi, bervisi kebangsaan, dan istri yang baik. Penampilan mereka sejuk, meski tak berjilbab. Aku suka Jane Austen, penulis novel Pride &.Prejudice berkebangsaan Inggris. Ia mengabarkan pentingnya kebebasan memilih bagi perempuan, tapi ia sangat menghargai kesopanan dan menahan diri. Padahal, ia Protestan. Aku juga suka Zazkya Mecca. Ia berani berbeda dan buatku, itu perjuangan atas kebebasannya.

Berdandannya perempuan bagiku adalah identitas. Dan setiap orang tentu berhak mengabarkan identitasnya kepada publik. Perkara kemudian itu akan melahirkan stereotipe tentang sesuatu, seperti seronok, mesum, atau murahan, aku lebih tertarik untuk melihatnya lebih dekat (berpikir lebih dalam) persoalan ini, daripada memikirkan label-label sosial itu. Karena, identitas yang mereka bangun, jelas diperuntukkan pada eksistensi diri mereka sendiri, bukan untuk orang lain.

Perlunya dakwah tentang aurat akan sangat relevan bila kesepakatan tentang ini telah dicapai. Bukan berarti menganggap seruan tentang menutup aurat adalah salah. Sebab, berbicara adalah hak, asalkan tidak ada yang merasa dirugikan. Alasan moral agamanya, kita diwajibkan untuk saling mengingatkan, dengan dakwah salah satu variannya.

Nah, isu pornografi-pornoaksi boleh-boleh saja, dalam kerangka pembanding tren berbusana dan berbudaya; bukan komoditas politik-kekuasaan. Pelacur mana sih yang berani berdandan pas-pasan saat masuk gereja? Mereka pasti akan meninggalkan semua identitasnya itu di luar. Tapi, mengapa mereka tetap saja berperilaku sama setelah keluar gereja? Sekali lagi, semua itu untuk membangun identitas dirinya; bukan untuk orang lain, apalagi memanjakan orang-orang yang melihatnya.

Menurut Francis Fukuyama, kegagalan gerakan islamisme justru berbenturan pada kondisi islami yang telah lama ada di Eropa. Maksudnya, bagaimana mungkin Islam yang menjunjung tinggi kedisiplinan, kebersihan, dan kerapian bisa dianggap sebagai hal menarik baru, bila pada kenyataannya di Eropa keadaannya memang telah lama demikian.

Nah, yang lebih parah, gerakan anti pornografi-pornoaksi yang salah, bisa membagi orang-orang Muslim ke beberapa kategori. Ada Muslimah yang akhirnya merasa bahwa ia tidak benar-benar islami. Kalau dia lantas mencari tahu untuk belajar, itu lebih baik. Nah, semisal dia malahan merasa dieksekusi, bahkan dengan berondongan norma yang intens, barangkali ia bisa kehilangan kepercayaan diri, dan merasa tidak diberi kesempatan bertanya.

Tidak ada komentar: