Kamis, 08 Januari 2009

PARAMETER


Jadi orang memang susah. Waktu coba berontak semua hal yang menurutku sangat membingungkan di dunia ini, ada yang mengatakan, aku terlalu ‘kemaruk’. Bahkan, ada yang yakin kalau aku kufur nikmat; tak bersyukur. Di waktu yang lain, kalau aku lantas menerima apa adanya, nrima ing pandum, taken for granted; stempel yang kemudian ada, aku disebut apatis, fatalis, atau malah jabariyah. Lebih jauh, aku dianggap tidak revolusioner.

Seperti biasa, aku lantas menjadi sangat kebingungan. Aku seperti ada dalam dua kekuatan besar yang sangat bersemangat untuk berhadap-hadapan. Antara memilih takdir dan menebak takdir; antara eksistensialis dan pragmatis; antara teosentris dan antroposentris; antara aku dan mereka; antara personal dan masyarakat; antara kesalehan dan kemusyrikan.

Paling-paling, untuk menyelesaikan persoalan ini, ujungnya, menurutku, semua tergantung proporsi yang akan kubangun. Tapi, biasanya, muncul pertanyaan serius lanjutan. Lantas bagaimana standardisasinya? Waduh, dengan kekalahan telak, aku pun akan kebingungan untuk kedua kalinya.

Kalau parameter hasil bikinan personal sih ada, hanya, apa itu benar-benar objektif? Subjektif; itu klaimnya. Sebab, aku juga selalu meragukan semuanya termasuk kesubjektivitasanku berpikir. Sebab, selama ini, aku juga selalu berpijak pada relativitas berpikirku. Semua sangat relatif buatku. Hingga kini, aku masih meyakininya. Artinya, kedinamisan adalah hal nyata yang tak dapat disangkal apalagi disalahkan. Sebagai sebuah hal yang niscaya, untuk merunutkan dan merumuskan banyak hal tentang dunia ini, aku perlu untuk mengkover semua hal termasuk mengesahkan keraguanku yang bahkan, sering meliarkan kekuatan pikirku tentang apa pun.

Biasanya, kalau kemudian ada yang bertanya tentang parameter pikirku, kalau aku tak kebingungan, aku pasti akan percaya diri untuk mengumbar parameterku sendiri. Aku selalu percaya diri untuk membentuk persepsiku tentang apa pun dan kapan pun. Sebab, dunia ini terbentuk karena persepsi. Kalau terminologinya menarik, itu karena aku berani untuk mengungkapkan bahwa persepsiku tentang sesuatu itu memang menarik. Apa pun motif persepsiku atau pengaruh dari luar pikirku, aku akan selalu berusaha untuk memunculkan persepsiku itu pure dariku.

Nah, kalau lantas ada yang beranggapan bahwa kufur itu tak bersyukur, bagaimana dengan orang-orang yang tiap saat tak pernah merasa puas berpikir? Ia haus ilmu, bahkan gila ilmu. Apakah itu juga kufur? Apakah aku juga selalu bicara parameter? Berarti, apakah aku terlalu pilih-pilih dan suka membanding-bandingkan? Apakah aku juga terlalu rakus? Berarti, apakah aku terlalu ingin berkuasa dan bebas memilih? Apakah ....

Ah, parameter itu sulit.

6 komentar:

GOJEK #GolekRejeki mengatakan...

intinya parameter itu apa mas ????

arifgiyanto mengatakan...

Ukuran sebagai pijakan untuk melangkah.

Anonim mengatakan...

mas arif,,
bacaanmu sehari-hari apaan si?
koq bisa berbahasa seperti itu?
keren.
hehe

arifgiyanto mengatakan...

Bacaanku nurannisaa7.wordpress dan Koran Pabelan. Haha!!

agung setyawan mengatakan...

selain itu, yang ku tahu rekan kita arif giyanto yang satu ini juga gemar membaca primbon nya orang barat....he...he...

dari situ kang,berarti dapat pelajaran hidup lagi...maksudku, mungin aja bahasa yg km gunakan selama ini, tidak dimengerti orang lain,,,yang lebih parah lagi bahasa kmu bisa diterima, tetapi dengan penerjemahan audienmu sendiri atau berseberangan dengan makna asli yang ingin kamu sampaikan....

"how slow can you go",,,,itu kan bahasa iklan A Maild, waktu aku SD, mungkin aja orang yang gak tau itu iklan rokok, tapi dia tahu bahasa inggris, malah mengartikannya itu iklan kondom atau iklan "pelumas"...he..he...

PEDE itu sangat penting, maruk belajar, itu juga saran dari ibu kita, tetapi ....to be continue

arifgiyanto mengatakan...

Kalo susah, serahin ke hati nurani aja. Haha!!