Rabu, 06 Agustus 2008

Miskin Itu Mesti Dimiliki


“Alaaah... bisa aja kamu. Wajar kalo kamu suka dia. Bajunya aja bagus-bagus.”

Aku lupa persisnya kapan kalimat itu mampir di telingaku. Seingatku, ia meniris habis kelebihsukaanku pada kadar yang begitu elitis. Kali itu, kawanku ini menggertak semua kebengalan argumenku atas penghargaan pada kemanusiaan dengan menampilkan wajah ketat; bahwa revolusi tak memberi ruang sedikit pun bagi kesenangan publik. Akan canggung diingat bila kemudian, tatanan besar hidup yang lebih baik itu bertebar dan bersanding dengan gaya kosmopolitku menikmati hidup. Memilih perempuan cantik, kaya, seksi, meski pro perubahan, semisal.

Kebingunganku wajar. Bahkan Natsir pun sempat meradang sewaktu seorang kawan bertanya padanya tentang keikutsertaannya pada Petisi 50. Beliau bilang, “Saya juga tidak tahu kalau kemudian semuanya akan seperti ini.” Ya, sebuah alasan yang sangat manusiawi.

Pada beberapa kesempatan, aku sempat berkilah, Rasulullah juga memilih Khadijah yang jelas terhormat nasabnya, juga kaya dan cantik. Meski kemudian aku berusaha melengkapi semuanya dengan ketangguhan Khadijah menemani Rasul untuk menyebarkan kebaikan di muka bumi.

Apalagi, selama ini pikiranku sangat strukturalis. Aku sangat bersemangat memisahkan atau mengklasifikasikan berbagai hal dengan perbedaan yang curam, termasuk kaya dan miskin. Itu sebabnya aku tak pernah nyaman berada di mall. Itu sebabnya aku tak pernah nyaman bersanding dengan perempuan seksi yang pro mode. Itu sebabnya aku tak mau makan di tempat-tempat mahal. Itu sebabnya aku tak berkeinginan punya mobil mewah atau rumah besar.

Ibuku pernah bilang, “Orang pinter itu ya pasti kaya.” Bisa jadi, bukan kaya dengan harta melimpah, tapi orang yang selalu bisa sedia uang bila ada yang membutuhkan. Sebab, dari dulu, ibuku juga sering bilang, “Jadi orang yang apa adanya aja.” Meski kadang, aku juga seperti dikejar sejuta renternir kalau beberapa hal tak aku penuhi, hanya karena uangku tak mencukupi kebutuhan.

Agak susah memang memosisikan diri di depan kekayaan. Aku ingat Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasul yang paling pandai berbisnis. Apa pun yang ia kerjakan pasti mendapatkan untung yang tak sedikit. Suatu ketika, ia pernah mengatakan bahwa ia sangat ketakutan bila ternyata semua nikmat Tuhan telah dilimpahkan kepadanya di dunia, sementara tak ada lagi sisanya di akhirat. Akhirnya ia pun tak henti-hentinya menghabiskan uangnya di jalan Tuhan. Menurutku, ia tepat memosisikan diri di depan kekayaan. Baginya uang memang tak sulit. Tapi baginya pula, uang adalah sumber kekhawatiran dia pada alam kekekalan kelak.

Aku merunut Hatta. Hingga wafatnya, ia tak kuasa membeli sepatu impiannya. Bukan karena tak mampu, tapi tak kuasa. Entah sama atau tidak, bagiku menampakkan keberlebihan pada tetangga yang kekurangan jelas mengingkari kemanusiaan. Aku pernah bilang pada seorang kawan, “Kalau saja rumah kamu kelak besar, sementara ada satu rumah reot di kompleks kamu, aku ngga bakal hormat padamu hingga tetanggamu itu berkecukupan.”

Kadang, aku merinding juga pada apa yang aku pikir dan inginkan tentang kaya dan miskin. Kadang aku sesak napas kalau berkerumun bersama mereka di hotel-hotel mewah. Kadang aku meringis saat beberapa bagian hidupku ternyata juga berperilaku sama.

Dulu, aku marah pada negara. Dalam Essay in Trespassing: Economics to Politics and Beyond, Albert Hirschman menulis tentang ‘persekutuan yang aneh’ atau ‘persekutuan yang tak suci’ antara pemikiran ekonomi neo-klasik dan ekonomi neo-marxis. Bagi neo-klasik, negara merintangi kekuatan pasar untuk bekerja. Dan bagi neo-marxis negara dianggap sebagai sekutu perusahaan multinasional dan modal lokal atau kaum komprador. Aku lebih nyaman dikategorikan pada kelompok neo-marxis.

Dulu, aku berpikir, keadaan miskin itu karena timpangnya distribusi pendapatan. Ada uang yang menumpuk di satu tempat. Dan ada banyak pihak yang kekurangan, karena secara struktural, uang yang menumpuk itu tak pernah disalurkan pada mereka yang kekurangan. Ternyata, ada yang lebih baru. Distribusi tak hanya tentang membagikan uang, tapi juga tentang pembagian uang dengan seni dan manajemen. Artinya, uang itu sampai dengan kerja keras. Uang itu sampai tidak dengan meminta-minta. Kesimpulannya, pemberdayaan lebih penting daripada distribusi pendapatan.

Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi 1998, menjelaskan kebuntuan pikirku. Sen mengatakan, kemiskinan harus dipandang dalam konsep kapabilitas. Kapabilitas merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang.

Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.

Pikiran-pikiran ini aku komposisikan dari tulisan Chatib Basri saat melepas perginya Sjahrir, seorang ekonom pro pasar yang setuju peran negara dalam mengatur kebutuhan pokok, untuk selama-lamanya. Sjahrir eksponen Malari. Ia sangat dekat dengan mahasiswa. Tapi ia tetap sosok yang tak bisa dijelaskan. Ia paradoks tapi terlalu bersahaja bila harus disalahkan cara berpikirnya. Pro rakyat yang tak kuasa meregulasi pasar.

Aku sempat bertanya pada beberapa orang yang aku anggap mengerti, “Aku ngga habis pikir. Mengapa bisa begitu? Aku ngga percaya kalo semua itu cuma cuci otak.” Tapi semua jawaban itu tak memuaskan. Sepersis pertanyaanku tentang Cak Nur yang kemudian merestui Nadia Madjid untuk menikahi seorang Yahudi. Hingga kini, aku belum bisa berkesimpulan, apakah diperbolehkan seorang Muslim menikahi seorang Kristen, Katolik, dan Yahudi; anak turun Ibrahim.

Tapi yang paling penting, semua pemikir yang aku kutip ini sangat resah pada kemiskinan. Cara mereka memang tak seragam, tapi spirit mereka untuk menyelesaikan persoalan ini dari waktu ke waktu sangat mengesimakan.

Dan aku hanya tahu satu hal. Bahwa seberapa pun rumitnya kemiskinan... aku hanya perlu merasa memilikinya. Itu saja.

“Pengen denger apa yang aku pikirin tentang semua ini?” tanyaku pada seorang kawan.

“Apa?”

“Distribusi teknologi informasi untuk pemberdayaan masyarakat lokal ini harus berujung pada sistem baku. Kalau sudah jadi, kita akan distribusikan ke semua tempat yang memerlukan di Indonesia. Berarti bisa jadi kita akan keluar masuk hutan.”

“Wah, aku seneng kalo babat alas.”

Lha Juminten piye?”

Kawanku tersenyum masygul.

Rabu, 06 Agustus 2008

15.13 WIB

Tidak ada komentar: